SUKABUMIUPDATE.com - Tujuh demonstran penentang kudeta Myanmar dilaporkan tewas saat polisi membubarkan unjuk rasa. Hal ini menjadikan demonstrasi hari ini, Ahad, 28 Februari 2021, menjadi yang paling berdarah dalam tiga pekan terakhir.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih, Aung San Suu Kyi, dan sebagian besar pimpinan partainya pada 1 Februari. Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan partai Suu Kyi secara telak.
Kudeta ini memancing ratusan ribu orang di seluruh negeri turun ke jalan dan kecaman dari negara-negara Barat.
"Myanmar seperti medan perang," kata kardinal Katolik pertama di negara mayoritas itu, Charles Maung Bo, di Twitter, dikutip dari Tempo.co seperti dilaporkan Reuters.
Polisi datang dan melepaskan tembakan di berbagai bagian wilayah di Yangon. Mereka melemparkan granat kejut, gas air mata dan tembakan ke udara namun gagal membubarkan massa.
Beberapa orang yang terluka diangkut oleh sesama pengunjuk rasa. Darah berceceran di jalan dan trotoar. Seorang pria meninggal setelah dibawa ke rumah sakit dengan peluru di dadanya, kata seorang dokter yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Seorang wanita meninggal karena serangan jantung yang dicurigai setelah polisi membubarkan protes guru di Yangon dengan bom kejuta, kata putrinya dan seorang rekannya.
Polisi juga melepaskan tembakan di Dawei di selatan, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya, kata politisi Kyaw Min Htike kepada Reuters dari kota itu.
Outlet media Myanmar Now melaporkan dua orang tewas dalam protes di kota Mandalay. Polisi dan juru bicara dewan militer yang berkuasa tidak menanggapi panggilan telepon yang meminta komentar.
Polisi membubarkan protes menolak kudeta di kota-kota lain, termasuk Lashio di timur laut dan Myeik di selatan jauh, kata penduduk dan media Myanmar.
Sumber: Tempo.co