SUKABUMIUPDATE.com - Ada sejarah menarik bila kita kembali mengulas perjalanan etnis Uighur di Xinjiang yang diduga menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia oleh Pemerintah China. Bahkan etnis minoritas pemeluk agama Islam ini pernah datang ke Indonesia dan menetap hingga saat ini. Salah satu daerah yang dihuni mereka adalah Sukabumi.
Sejarah Singkat Islam di China
Seorang penulis dan jurnalis, Ian Johnson mengatakan, Islam tiba di China pada abad ketujuh saat masa dinasti Tang. Kala itu situasi di wilayah tersebut masih kental dengan semangat keterbukaan dan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme sendiri merupakan ideologi yang menyatakan bahwa semua suku bangsa manusia adalah satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Kondisi tersebut tetap bertahan selama dinasti berikutnya dan orang-orang Muslim di sana berperan sebagai perantara perdagangan.
Ian menjelaskan, Islam telah hadir di China 1.300 tahun lamanya dan nilai-nilainya telah tertanam di wilayah itu. Hal ini bisa dilihat dari kota-kota besar seperti Beijing dan Xi'an yang membanggakan masjid-masjid kuno megah dan ribuan desa berpenduduk mayoritas Muslim.
Tetapi, masalah keagamaan di China bermula sejak kekaisaran Qing (1644). Saat itu, beberapa agama Ibrahim menjadi tantangan khusus bagi pandangan agama Tionghoa. Pasalnya, Yahudi, Kristen, dan Islam disebut menempuh jalan eksklusif menuju keselamatan, seperti hanya ada satu tuhan, tuhan kami, dan jika Anda tidak mengikutinya, maka akan masuk neraka.
Ian mengungkapkan, Qing merupakan kerajaan multi-etnis, namun ada anggapan yang mendasarinya bahwa negara mesti menentukan ortodoksi dan heterodoksi.
Bagi mereka yang berasimilasi, negara tersebut menjadi murah hati. Tetapi bagi mereka yang keyakinannya tidak sesuai dengan cetakan, maka kemurahan hati tersebut berubah menjadi penindasan. Pernyataan Ian ini dilansir dari The New York Review. Sehingga terlepas dari sejarah panjang itu, penguasa China mengalami kesulitan untuk mencari tahu bagaimana mengakomodasi Islam.
Mengenal Etnis Uighur
Uighur merupakan orang Turki yang berasal dari Asia Tengah dan mendiami sebagian wilayah Tarim, Junghar, dan Turpan. Mereka menyebut daerah tersebut secara kolektif sebagai Uighuristan, Turkestan Timur, dan kadang-kadang Turkestan China.
Melansir dari laporan Radio Free Asia melalui Tempo, luas area ini mencakup 2.000 kilometer dari Timur ke Barat serta 1.650 kilometer dari Utara ke Selatan dan berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Kirgistan, Kazakhstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India, serta Provinsi Gansu dan Qinghai China dan Daerah Otonomi Tibet.
Wilayah otonomi Uighur Xinjiang China (XUAR) sendiri terdiri dari hampir seperenam wilayah China.
Nama Uyghur, juga ditulis Uighur atau Uygur, pertama kali muncul dalam prasasti Orkhun Kok Turk dan pada naskah awal Uighur, Manichaean, dan Sogdiana abad pertengahan, serta dalam manuskrip Arab-Persia.
Orang Turki secara historis memakai bahasa Uighur sebagai bahasa sastra. Bahasa Uighur kuno, yang dipakai pada abad kedelapan selama Uighur Khanate, sama dengan bahasa prasasti Orkhun-Yenisay, yang disebut bahasa Turki kuno.
Uighur dan leluhur mereka merupakan orang-orang kuno yang telah tinggal di Asia Tengah sejak milenium pertama sebelum Masehi. Wilayah ini memiliki kepentingan besar sejak masa awal karena lokasi geografisnya yang disukai sebab berada pada rute perdagangan kuno antara Timur dan Barat, yang menghubungkan peradaban Yunani-Romawi dengan budaya Buddha India dan tradisi Asia Tengah dan Timur.
Perdagangan dan pertukaran budaya yang berkembang tersebut membawa karakter kosmopolitan ke wilayah Uighur, yang ditandai oleh toleransi linguistik, ras, dan agama.
Pada 2019 lalu dilaporkan ada sekitar 11 juta orang Uighur yang tinggal di Xinjiang, di ujung barat laut China, yakni wilayah pegunungan yang gersang dan padang rumput yang luas. Namun kelompok lebih kecil ditemukan di Asia Tengah. Para ahli mengatakan bahwa identitas Uighur berkembang selama berabad-abad di sekitar kota-kota Oasis.
Secara historis, penduduk wilayah Uighur mempraktikan Shamanisme, Buddha, Manichaeisme, Nestorianisme, dan Islam. Uighur sendiri secara resmi mengadopsi Islam pada 960 Masehi di bawah kekuasaan Sultan Sutuq Bughra Khan.
Apa yang Dialami Etnis Uighur di China?
Berdasarkan laporan organisasi pemerhati hak asasi manusia, Amnesty International pada tahun 2018 lalu, Pemerintah China telah menahan sekitar satu juta etnis Uighur, Kazakh, dan lainnya di sejumlah penampungan layaknya kamp konsentrasi.
Ditulis di laman resmi mereka, Amnesty International menuturkan, satu juta etnis minoritas Muslim ditahan secara sewenang-wenang di kamp "transformasi-melalui-pendidikan" di Xinjiang barat laut China.
Mereka yang ditahan di daerah otonomi Uighur Xinjiang barat laut China, di antaranya adalah orang Uighur, Kazakh, dan kelompok etnis minoritas lainnya yang praktik agama dan budayanya sangat penting bagi identitas mereka.
Amnesty International menegaskan, penahanan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah China untuk menghapus keyakinan agama dan aspek identitas budaya demi menegakkan loyalitas politik.
Bahkan orang Uighur yang tinggal di luar negeri menderita pelecehan dan intimidasi oleh otoritas China. Ada 400 orang yang telah menceritakan kisahnya kepada Amnesty International. Mereka menceritakan soal pengawasan yang mengganggu, panggilan telepon yang mengintimidasi, dan ancaman kematian. Anggota keluarga mereka di China pun diminta untuk menekan aktivitas mereka di luar negeri.
Amnesty International juga mengkampanyekan aksi kolektif yang cukup dan tekanan global untuk pemerintah China agar bertanggung jawab atas mereka yang menjadi target dugaan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Melihat Kamp Muslim Uighur
Kamp penahanan Muslim Uighur di China | Sumber foto: BBC
Berdasarkan laporan investigasi BBC pada tahun 2018, ditemukan sebuah kompleks besar dan berkeamanan ketat, lengkap dengan tembok luar sepanjang dua kilometer dan 16 gardu penjaga. Kompleks ini ditemukan di kawasan gurun dan sejumlah kota di bagian barat China pada 22 April 2018 melalui foto satelit. Padahal, pada 12 Juli 2015, salah satu foto menampilkan pemandangan lahan kosong yang dipenuhi pasir abu di kawasan tersebut.
Lokasi kompleks beton yang terletak di dekat Kota Dabancheng, sekitar satu jam berkendara dari ibu kota Xinjiang, Urumqi tersebut diduga sebagai kamp penahanan bagi warga Muslim Uighur.
Dalam laporan investigasi ini disebutkan, foto satelit Sentinel pada Oktober 2018 menunjukkan betapa luasnya perkembangan wilayah itu. Kompleks besar yang mirip penjara tersebut hanyalah satu dari sekian banyak bangunan serupa yang didirikan di Xinjiang selama beberapa tahun terakhir.
Foto satelit di kawasan barat China pada Juli 2015 | Sumber foto: BBC
Foto satelit di kawasan barat China pada April 2018 | Sumber foto: BBC
Sejumlah orang di Dabancheng menyebut bahwa lokasi itu merupakan sekolah re-edukasi. Mereka mengatakan ada ribuan orang di lokasi tersebut karena memiliki masalah dengan pemikirannya. Namun ternyata, kata "sekolah" di wilayah itu memiliki makna yang lain. Kata "pemenjaraan" di kamp-kamp telah lama dilemahkan menjadi "pendidikan". Pemerintah China menggunakan kata tersebut untuk menanggapi kritik dari berbagai penjuru dunia.
Tidak diketahui dengan pasti landasan yang digunakan untuk memilih pelajar-pelajar dalam "sesi pelajaran" tersebut dan berapa lama pendidikan ini berlangsung. Hal itu karena sulitnya akses untuk mendapatkan informasi yang lebih luas dalam investigasi tersebut.
Kendati demikian, ada sejumlah petunjuk yang dapat kita simak dari wawancara yang lebih terdengar semacam pengakuan.
"Saya memahami kesalahan-kesalahan saya secara mendalam," kata salah satu pria di hadapan kamera sambil berikrar menjadi warga yang baik setelah ia pulang.
Usut demi usut, tujuan utama dari sekolah tersebut adalah untuk memerangi ekstremisme melalui gabungan teori hukum, keahlian kerja, dan pelatihan bahasa Mandarin. Fasilitas ini secara eksklusif diperuntukkan bagi kaum minoritas Muslim di Xinjiang yang sebagian besar tidak menggunakan Mandarin sebagai bahasa ibu.
Laporan investigasi ini menyebut bahwa ada video yang ditayangkan dan mengindikasikan para pelajar di sekolah tersebut menjalani ketentuan berpakaian, salah satunya tidak ada seorang pelajar perempuan yang memakai hijab.
Apa Masalah Sebenarnya?
Masih dalam laporan investigasi yang sama, terdapat lebih dari 10 juta orang Uighur di Xinjiang. Mereka disebut berbahasa Turki dan wajahnya menyerupai warga Asia Tengah, alih-alih etnis mayoritas Han di China. Sementara Kota Kashgar di bagian selatan Xinjiang, secara geografis sebenarnya lebih dekat ke Baghdad ketimbang ke Beijing, begitu pula dengan budayanya.
Sejak dulu etnis Uighur disebut sering memberontak terhadap kekuasaan China. Meskipun Xinjiang beberapa kali luput dari kendali China, sehingga dapat mandiri pada masa sebelum Partai Komunis berkuasa.
Kekayaan mineral, terutama minyak dan gas, di wilayah yang luasnya lima kali lipat lebih besar dari Jerman itu mendatangkan investasi bagi China, pertumbuhan ekonomi, sekaligus arus pendatang etnis Han. Kondisi tersebut, menurut pemerintah China, mengakibatkan standar hidup warga Xinjiang meningkat.
Namun, selama sekitar satu dasawarsa terakhir, ratusan nyawa melayang akibat kerusuhan, kekerasan antar komunitas, serangan yang direncanakan, dan aksi polisi.
Puncaknya terjadi pada 2013, saat serangan terhadap pejalan kaki di Lapangan Tiananmen, Beijing, menewaskan dua orang dan tiga warga Uighur di dalam mobil. Meskipun jumlah korban meninggal relatif sedikit, tapi kejadian itu membangkitkan perlawanan terhadap China.
Tahun berikutnya, terdapat 31 orang ditikam oleh sejumlah warga Uighur yang bersenjatakan belati di stasiun kereta Kota Kunming, lebih dari 2 ribu kilometer dari Xinjiang. Sebagai balasannya, selama empat tahun terakhir pemerintah China akhirnya mengetatkan keamanan terhadap warga Xinjiang. Langkah tersebut dinilai sebagai yang paling ketat dari negara kepada warganya sendiri.
Kebijakan tersebut mencakup penggunaan teknologi berskala besar, seperti memasang kamera pengenal wajah, perangkat pemantauan yang mampu membaca isi ponsel, dan pengumpulan data biometrik secara massal.
Selain itu, sanksi hukum juga diterapkan untuk menekan identitas dan praktik keislaman, di antaranya melarang hijab, janggut panjang, pengajaran keagamaan untuk anak-anak, hingga melarang nama-nama Islam.
Kebijakan itu menandai perubahan yang fundamental dalam pemikiran para pejabat pemerintah China, yakni separatisme tidak lagi dianggap sebagai masalah individu tertentu, namun juga masalah yang inheren pada budaya Uighur dan Islam secara umum.
Hal itu semakin mengemuka ketika pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping mengetatkan kendali terhadap masyarakat sehingga kesetiaan terhadap Partai Komunis mesti didahulukan ketimbang loyalitas kepada keluarga dan agama.
Kondisi tersebut membuat identitas komunitas Muslim Uighur menjadi sasaran kecurigaan. Saat ini semacam telah menjadi pemandangan umum ketika ada warga Uighur digeledah di jalan-jalan dan pos-pos pemeriksaan kendaraan, sementara warga etnis Han kerap lolos dari pengecekan serupa.
Pemerintah China Membantah
Dalam laporan media Jerman Deutsche Welle pada Januari 2021 ini, Pemerintah China mengumumkan sanksi terhadap 28 pejabat Amerika Serikat yang berafiliasi dengan mantan presiden Donald Trump. Salah seorang pejabat yang dikenakan sanksi adalah mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo.
China mengeluarkan sanksi tersebut sebagai respons terhadap pejabat Amerika Serikat yang dinilai mencampuri urusan dalam negeri China, merusak kepentingan China, menyinggung rakyat China, dan secara serius mengganggu hubungan China dan Amerika Serikat.
Sanksi tersebut melarang 28 pejabat Amerika Serikat dan anggota keluarga dekatnya memasuki wilayah China dan melakukan bisnis dengan institusi China. Para pejabat yang terkena sanksi antara lain mantan Kepala Perdagangan Peter Navarro, mantan Penasihat Keamanan Nasional Robert O'Brien dan John Bolton, mantan Menteri Kesehatan Alex Azar, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Kelly Craft, dan Steve Bannon yang merupakan mantan penasihat Trump.
Sebelumnya Pompeo menyebut bahwa tindakan China terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim di wilayah Xinjiang merupakan "genosida" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan".
Namun China telah berulang kali membantah pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang, meskipun terdapat bukti ekstensif dari PBB yang menyebut hampir satu juta orang Uighur dan Muslim lainnya ditahan di kamp-kamp penahanan.
Bahkan dalam sebuah dokumen mengenai sejarah Uighur di Xinjiang yang diterbitkan Kantor Informasi China pada Juli 2019 disebutkan, China mengaku sebagai negara multi-etnis, dan beragam etnis di Xinjiang sudah menjadi bagian dari negara China sejak lama.
Dokumen yang disebut "Historical Matters Concerning Xinjiang" itu mengatakan, di era yang lebih modern, musuh dari luar China, terutama kaum separatis ekstrimis agama, dan teroris telah mencoba memecah belah China dengan mendistorsi sejarah dan fakta.
Xinjiang menjadi wilayah tak terpisahkan dari pemerintah China. Kelompok etnis Uighur disebutnya mengalami proses migrasi dan integrasi yang panjang, namun tetap bagian dari negara China.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa budaya dan agama hidup berdampingan. Budaya etnis dipupuk dan dikembangkan dalam pelukan kebudayaan China. Islam bukanlah satu-satunya sistem kepercayaan masyarakat Uighur. Hanya saja, Islam mengakar dan berkembang dengan baik di Xinjiang. Gelombang ekstremisme agama di dunia juga terjadi di Xinjiang, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah insiden teror dan kekerasan.
Pemerintah China menganggap bahwa pertarungan Xinjiang melawan terorisme dan ekstremisme merupakan pertempuran untuk melawan kekuatan jahat dan biadab. Karena itu, ia layak mendapatkan dukungan, rasa hormat, dan pengertian.
Dokumen tersebut juga mengungkapkan bahwa saat ini dunia menganut pemahaman ganda ihwal terorisme dan ekstremisme. Sehingga apa yang terjadi di Xinjiang dianggap sebagai sebuah kejahatan dan tekanan dari pemerintah China yang menolak kepercayaan etnis Uighur.
Sebelum peristiwa panjang itu dialami etnis Uighur, ternyata etnis ini pernah datang ke nusantara. Pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah mengatakan, etnis Uighur datang langsung ke nusantara saat zaman penjajahan Belanda. Mereka datang dalam kondisi sudah sebagai Muslim dan masuk melalui Batavia, Bogor, hingga kemudian ke Sukabumi, di antaranya ke Cisaat, Cibadak, Cicurug, dan Gunungparang.
"Warga Uighur kebanyakan pedagang, jadi sekitar pertengahan 1800-an (masuk ke nusantara)," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Selasa, 2 Februari 2021.
Irman menjelaskan, saat itu China memiliki kebijakan yang menyatakan bahwa siapapun warga China yang berada di luar negeri, maka tetap sebagai warga China. Namun Indonesia justru hanya menganut satu kewarganegaraan, sehingga Presiden Soekarno meminta warga Tionghoa yang ada di Tanah Air untuk memilih apakah akan menjadi warga Indonesia atau China.
"Kalau memilih warga China maka dipersilakan pulang. Maka orang Tionghoa keluar, terutama dari desa-desa," ucap irman. "Jadi pada tahun 1955 ada perjanjian dwikewarganegaraan antara Indonesia dan China. Lalu pada tahun 1959 diterbitkan aturan untuk melindungi warga lokal, dimana warga asing tidak boleh berjualan eceran di tingkat kabupaten ke bawah, artinya hanya boleh di ibukota kabupaten atau kota," ucapnya menjelaskan.
Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story ini memaparkan, saat itu etnis Uighur yang datang ke nusantara, termasuk Sukabumi, jumlahnya relatif sedikit karena sebagian telah berbaur seperti orang pribumi. Bahkan mereka memiliki kapitan sendiri yang didaulat menjadi pemimpin, yakni kapitan Tionghoa Muslim.
Irman juga mengungkapkan bahwa etnis Uighur yang datang ke Sukabumi kala itu merupakan satu bangsa dengan etnis Uighur yang saat ini mengalami penindasan di China."Tapi masanya berbeda kan yang ke Sukabumi, ke Indonesia, itu di zaman Belanda. Uighur yang sekarang di Indonesia cenderung lebih moderat karena mungkin tak mengalami langsung kekerasan di China," ujarnya.
Irman mengungkapkan, etnis yang ada di Indonesia dan Sukabumi terbilang lebih moderat. Misalnya soal pengeras suara, Irman mencontohkan bahwa mereka memahami jika suara dari alat pengeras masjid yang berasal dari kaset diputar semalaman, maka berpotensi mengganggu warga. Namun bila suara dari azan dan pengajian, mereka tetap menyetujui itu karena berkaitan dengan ranah ibadah.
"Ini yang di Sukabumi, saat pasar dibakar tahun 1963, mereka membantu warga. Ada sampai sekarang (Muslim Uighur di Sukabumi)," pungkas Irman.