SUKABUMIUPDATE.com - Brasil berisiko menjadi negara dengan kasus virus corona (Covid-19) tertinggi kedua di dunia di belakang Amerika Serikat setelah lonjakan kasus signifikan pada Rabu.
Melansir dari tempo.co, pada Rabu, Kementerian Kesehatan Brasil melaporkan 888 kematian dan 20.000 kasus baru dalam satu hari.
Brasil kemungkinan bisa mengikuti jejak Amerika Serikat dalam jumlah kasus virus corona, di mana saat ini Rusia memiliki jumlah kasus tertinggi kedua, menurut laporan Reuters, 21 Mei 2020.
Total kematian virus corona di Brasil adalah 18.859.
Penghitungan kasus yang dikonfirmasikan Brasil sekarang mencapai 291.579, menurut Departemen Kesehatan. Pada hari Senin, Brasil menyalip Inggris menjadi negara dengan jumlah infeksi tertinggi ketiga dan mencatat rekor harian 1.179 kematian pada hari Selasa.
Presiden Jair Bolsonaro telah dikritik karena penanganan wabahnya, dan bagaimana meremehkan ancaman virus corona. Mantan kapten tentara sayap kanan itu telah lama mengecam langkah-langkah pembatasan sosial, dan malah mendorong pemerintah daerah membuka kembali ekonomi.
Bolsonaro juga mendukung obat malaria chloroquine digunakan sebagai obat Covid-19, meskipun ada peringatan dari para ahli kesehatan bahwa obat itu tidak efektif dan malah meningkatkan risiko kematian pasien.
Pada hari Rabu, Departemen Kesehatan mengeluarkan pedoman baru untuk penggunaan luas obat anti-malaria dalam kasus virus corona ringan.
Menteri Kesehatan Brasil Nelson Teich bereaksi selama konferensi pers, di tengah wabah penyakit virus corona, di Brasilia, Brasil 22 April 2020. [REUTERS / Ueslei Marcelino]
Pelaksana tugas Menteri Kesehatan Eduardo Pazuello, seorang jenderal angkatan darat yang aktif, mengesahkan protokol yang dimodifikasi setelah dua mantan menkes sebelumnya mundur karena enggan mempromosikan penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine.
"Kita sedang berperang. Lebih buruk daripada kekalahan adalah rasa malu karena tidak melakukan perlawanan," kicau Twitter Bolsonaro tentang keputusan pemerintah untuk mengedepankan obat-obatan tanpa bukti ilmiah efektivitasnya.
Gonzalo Vecina Neto, mantan kepala regulator kesehatan Brasil, Anvisa, menyebut langkah-langkah baru itu sebagai langkah barbar yang bisa menyebabkan banyak bahaya daripada manfaat karena efek samping obat yang berbahaya.
"(obat) Ini tidak memiliki bukti ilmiah," kata Vecina Neto. "(Sangat) tidak dapat dipercaya bahwa pada abad ke-21, kita hidup dari pemikiran ajaib."
Lonjakan dahsyat kasus Covid-19 menyebabkan sistem kesehatan Brasil di ambang keruntuhan.
Wali kota Sao Paulo sebelumnya memperingatkan bahwa sistem kesehatannya akan kewalahan jika penduduk tidak mengikuti pedoman jarak sosial. Pejabat di kota dengan 12 juta penduduk itu telah menyatakan liburan lima hari dalam upaya untuk membuat penduduk tinggal di rumah.
Jair Bolsonaro telah berulang kali menyebut Covid-19 sebagai "flu kecil" dan mendesak perusahaan untuk membuka kembali, bahkan ketika banyak gubernur berjuang untuk menerapkan langkah-langkah isolasi sosial dan memperlambat penyebaran.
Pekan lalu Nelson Teich mengundurkan diri sebagai menkes berselisih dengan Bolsonaro atas strategi penanganan virus corona. Pada bulan April, Bolsonaro memecat menteri kesehatan sebelum Nelson, Luiz Henrique Mandetta, setelah perselisihan serupa.
Terlepas dari krisis politik, Jair Bolsonaro terus menggembar-gemborkan chloroquine sebagai obat potensial terhadap virus corona seperti yang dipromosikan oleh Donald Trump, meskipun obat itu belum terbukti menyembuhkan Covid-19.
Desakan penggunaan obat anti-malaria oleh Bolsonaro menyusul pernyataan Trump pada hari Senin yang mengaku mengkonsumsi dosis harian hydroxychloroquine, meskipun para ahli medis, Administrasi Makanan dan Obat AS dan setidaknya satu studi telah mempertanyakan kemanjurannya melawan virus corona dan memperingatkan kemungkinan efek samping yang berbahaya.
Sumber : tempo.co