SUKABUMIUPDATE.com - Dana menjadi tantangan para periset untuk menciptakan vaksin virus Corona (COVID-19) sesegera mungkin. Dilansir dari tempo.co, karena pada kenyataannya tidak banyak anggaran disediakan untuk hal tersebut. Kalaupun ada, pemerintah tengah mengalokasikannya untuk hal lain yang bersifat jangka pendek.
Salah satunya dialami oleh Sarah Gilbert, peneliti dari Oxford's Jenner Institute & Nuffield Department of Clinical Medicine, di Inggris. Ia dan timnya, yang bekerja tujuh hari sepekan untuk mencari vaksin Corona, mengaku kekurangan dana. Glibert mengklaim timnya membutuhkan suntikan dana segar setidaknya US$123 juta atau setara Rp1,9 triliun.
"Uang itu dibutuhkan paling tidak pada bulan Juni ini agar riset vaksin bisa selesai dan disampaikan ke perusahaan farmasi sebelum akhir tahun," ujar Gilbert sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, Sabtu, 11 April 2020.
Mengacu pada data WHO, setidaknya ada 60 tim peniliti di seluruh dunia yang terlibat riset vaksin virus Corona. Mereka ada yang berasal dari kampus, perusahaan farmasi, startup bioteknologi, ataupun institusi milik negara. Adapun angka tersebut tidak menghitung mereka yang melakukan riset untuk teknologi tes ataupun metode penyembuhan.
Gilbert dan timnya adalah satu dari 60 tim peneliti itu. Gilbert memulai risetnya beberapa bulan lalu dengan modal awal US$620 ribu atau setara dengan Rp9,8 miliar. Uang itu datang dari organisasi milik pemerintah Inggris, Engineering and Physical Sciences Research Council.
Pada awalnya, dengan anggaran yang tersedia, riset diyakini bisa selesai dengan durasi normal, sekitar 1,5 - 2 tahun. Namun, seiring dengan meningkatnya pandemi virus Corona di seluruh dunia, tekanan untuk menyelesaikan riset sesegera mungkin menjadi muncul.
Sayangnya, desakan untuk segera menyelesaikan riset tidak dibarengi dengan penganggaran dana. Malah, sebagian dana riset lari ke penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) dan perlengkapan medis seperti ventilator. Apalagi, di Inggris, kebutuhan atas ventilator masih timpang dengan jumlah yang tersedia. Oleh karenanya, kata Gilbert, risetnya dikesampingkan adalah hal yang tak terhindarkan.
"Saya rasa, dengan situasi sekarang, riset tidak ada di kepala pemerintah. Sebab, permintaan untuk APD dan ventilator sangat tinggi. Itu yang bisa dan perlu mereka pikirkan dulu saat ini," ujar Gilbert.
Untuk menutupi kekurangan dana yang ada, Gilbert mengaku sudah mengajukan proposal ke berbagai lembaga. Selain itu, ia juga mengupayakan agar anggaran-anggaran riset yang tidak mendesak bisa diarahkan ke riset vaksin virus Corona. Meski begitu, Gilbert merasa waktu yang ia pakai untuk mencari dana sesungguhnya lebih berharga untuk riset.
"Pendanaan akademis sangat-sangat terbatas saat ini. Kami harus memiliki rencana yang sangat detil. Akan mudah jika kami hanya punya satu rencana Tapi, dengan situasi sekarang, di mana berbagai situasi bisa terjadi, kami membutuhkan skema pendanaan yang fleksibel," ujar Gilbert.
Sementara itu, Michael Kinch, peneliti dari Washington University, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan farmasi sesungguhnya juga malas melakukan riset vaksin. Sebab, selain memakan biaya besar dan waktu yang lama, prosesnya sendiri sangat beresiko. Alih-alih menghasilkan keuntungan, riset vaksin tak jarang membawa kerugian untuk perusahaan farmasi.
Hal itu diperparah dengan teknologi riset vaksin yang belum banyak baerubah dari dulu. Sementara itu, di sisi lain, ada teknologi-teknologi medis yang resikonya lebih rendah dan lebih mudah diproduksi seperti ventilator. Tak jarang perusahaan farmasi memilih untuk memangkas kapasita R&D-nya dan fokus ke pengembangan teknologi medis.
"Perusahaan perusahaan farmasi besar sekarang kebanyakan sudah tidak punya divisi riset lagi. Mereka membubarkannya setelah mengetahui bahwa riset mereka tiga kali lebih mahal dibandingkan yang dilakukan akademisi di kampus," ujar Ian Frazer, professor University of Queensland yang menemukan vaksin papillomavirus.
Hingga berita ini ditulis, jumlah kasus virus Corona (COVID-19) di dunia sudah mencapai 1,6 juta dengan korban meninggal lebih dari 100 ribu orang.
Sumber: Tempo.co