SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah Amerika dan Cina terlibat dalam beberapa konflik selain perang dagang, yang sedang mengalami deeskalasi dengan tercapainya kesepakatan dagang tahap pertama pada pekan lalu.
Konflik selain ekonomi ini biasanya melibatkan isu militer, intelijen dan peretasan atau hacking jaringan komputer. Pada September 2019, seperti dilansir Reuters, AS mengusir dua diplomat Cina yang mengendarai mobil mendekati markas militer di dekat Norfolk, Virginia. Pengusiran ini terjadi diam-diam dan Beijing tidak membalas tindakan pengusiran ini.
Berikut ini beberapa konflik lain antara kedua negara ekonomi terbesar dunia ini:
Sanksi Militer
Pemerintah AS mengenakan sanksi kepada Departemen Pengembangan Peralatan Angkatan Bersenjata Cina serta kepala lembaga itu yaitu Li Shangfu.
Sanksi pada September 2018 itu terjadi setelah militer Cina membeli sejumlah senjata dari Rusia lewat perusahaan Rosoboronexport, yang merupakan perusahaan eksportir senjata terbesar di sana. Cina disebut membeli sejumlah senjata canggih seperti jet tempur SU-35 pada 2017 dan sistem anti-rudal S-400 pada 2018. Sanksinya adalah melarang Departemen Peralatan itu mengajukan izin ekspor senjata dan berpartisipasi dalam pertukaran militer di bawah yurisdiksi AS.
Operasi Peretasan
Pengadilan Federal di Indianapolis, Indiana, Amerika Serikat, memproses hukum sekelompok peretas militer Cina, yang diduga terlibat dalam pencurian data dari sekitar 78 juta orang.
“Ada empat dakwaan terhadap Fujie Wang, 32 tahun, dan anggota lain dari kelompok peretas, yang masuk ke jaringan sistem komputer di AS,” begitu dilansir Sputnik News pada Jumat, 10 Mei 2019.
Para peretas mencuri data detil berisi nama, nomor identifikasi kesehatan, tanggal lahir, nomor sosial keamanan, alamat, telepon, dan alamat email. Peretas juga mendapatkan informasi mengenai pegawai dan data gaji mereka. Asisten Jaksa Agung, Brian Benczkowski, mengatakan,”Dakwaan yang dibuka hari ini menggarisbawahi aktivitas peretas komputer asal Cina yang melakukan salah satu peretasan data terburuk dalam sejarah.”
Institusi Militer
Deputi Jaksa Agung Amerika Serikat, Rod Rosenstein, mengatakan sejumlah peretas asal Cina telah mengincar jaringan komputer militer di negara itu.
Kelompok peretas yang disebut sebagai Advanced Persistent Threat 10 atau APT10 ini menyasar militer AS termasuk Angkatan Laut untuk mencuri identitas pasukan seperti nama, nomor keamanan sosial, tanggal lahir, gaji, nomor telepon pribadi, dan alamat email dari sekitar 100 ribu lebih anggota.
“Ini adalah pencurian dan kecurangan terang-terangan dan ini memberi Cina keuntungan tidak adil atas bisnis dan negara yang mengikuti aturan internasional untuk mendapatkan privelese dalam sistem ekonomi dunia,” kata Rosenstein dalam jumpa pers seperti dilansir CNN pada Kamis, 21 Desember 2018.
Rosenstein mengatakan pemerintah Cina tidak bisa lagi berpura-pura tidak menyadari adanya kampanye serangan siber dari negaranya untuk mencuri berbagai rahasia bisnis. Dia menyebut tindakan Cina ini sebagai agresi ekonomi.
“Kami tahu apa yang Cina lakukan. Kami tahu mengapa mereka melakukan itu. Dan kami juga tahu siapa yang duduk di depan layar komputer,” kata dia.
Soal ini, pemerintah Cina menolak tudingan AS dan menyebutnya sebagai fakta yang dibuat-buat. Pemerintah Cina menyebut tudingan itu bersifat jahat. “Cina secara tegas menjaga keamanan siber, selalu menolak dan menangani semua bentuk pencurian siber,” kata Hua Chunying, juru bicara kementerian Luar Negeri Cina seperti dilansir CNN.
Sumber : tempo.co