SUKABUMIUPDATE.com - Duta Besar RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi, mengungkap ada sekitar 40 ribu WNI di Negeri Gingseng. Dari jumlah tersebut, sekitar 36 ribu adalah TKI, yang hampir 90 persen laki-laki.
Di temui pada Rabu, 18 September 2019, dalam acara Indonesia - Korea Conference 2019, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta dan Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia atau FPCI, Umar menjelaskan perjanjian pengiriman pekerja dilakukan antar pemerintah.
Korea Selatan pada dasarnya tertutup bagi pekerja asing, kecuali pada 15 negara yang menanda-tangani MoU pengiriman tenaga kerja dengan Korea Selatan, salah satunya Indonesia.
Berdasarkan MoU itu, pekerja asing itu di Korea Selatan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja lokal. Kesamaan hak itu diantaranya hak penggajian, hak cuti, hingga hak mendapatkan asuransi. Gaji para TKI berbeda, tergantung daerah tempat mereka bekerja, dimana UMR terendah sekitar 1.550 ribu won atau sekitar Rp 17 jutaan
"Di Korea Selatan, penegakan hukumnya juga relatif bagus. Jadi, kalau ada masalah misalnya gaji yang tidak dibayar, dengan hukum setempat pun sudah ditegakkan," kata Umar kepada Tempo.
Para TKI di Korea Selatan bekerja pada sektor formal, dimana untuk Indonesia hanya ada dua sektor yang bisa dimasuki, yakni manufaktur dan perikanan. Diperkirakan ada sekitar 26 ribu TKI bekerja di pabrik UKM, seperti pabrik sepatu dan kain. Pabrik jenis UKM ini ada sampai ke pelosok desa di Korea Selatan.
Sedang di sektor perikanan, yang masuk dalam sistem ini adalah yang bekerja ditambak-tambak ikan dan kapal-kapal kecil dengan berat di bawah tiga ton.
Para TKI ini bekerja di Korea Selatan menggunakan visa E9. Mereka akan mendapatkan kontrak kerja tiga tahun dan bisa diperpanjang 1 tahun 10 bulan. Kontrak kerja ini dibuat langsung antara pemberi kerja dan pekerja.
Setelah 4 tahun 10 bulan, TKI tersebut harus pulang ke Indonesia. Namun dia memiliki kesempatan sekali lagi untuk kembali ke Korea Selatan sebagai TKI. Hampir 90 persen TKI di Korea Selatan adalah laki-laki karena mereka bekerja di pabrik.
Umar berkomitmen ingin merubah perspektif dalam penanganan TKI, yakni menjadikan TKI sebagai aset atau peluang sehingga setelah selesai bekerja di Korea Selatan, para TKI itu bisa menjadi agen perubahan saat pulang ke Indonesia dengan membuka usaha sendiri dan menciptakan lapangan pekerjaan.
"Secara berkelompok, mereka (TKI) mulai mencari ide setelah selesai kerja di Korea Selatan mau buat apa ketika pulang ke Indonesia. Maka sekarang di KBRI dibuat kelompok-kelompok belajar. Kami berikan bekal tambahan seperti manajemen keuangan, pengetahuan mengenai perbankan, dan informasi sektor bisnis apa yang sedang berkembang di Indonesia. Paling banyak pingin usaha kuliner dan buka warung," kata Umar.
Menjawab hal tersebut, tim di KBRI Seoul, Korea Selatan, pun diantaranya memberikan ilmu pengetahuan soal bagaimana mengelola sebuah warung.
Umar melihat, para TKI di Korea Selatan memiliki motivasi yang sangat bagus. Umumnya para TKI itu terbang ke Korea Selatan pada usia 19 tahun atau setelah lulus SMK. Umar sangat yakin, saat mereka pulang ke Indonesia mereka bisa menjadi motor penggerak perubahan di desa masing-masing.
SUMBER: TEMPO.CO