SUKABUMIUPDATE.com - Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, menolak menjalani pemeriksaan kejiwaan yang diperintahkan pengadilan setelah ia menunggah di Twitter gambar-gambar brutal eksekusi ISIS, dan membandingkan metode yang sama digunakan dalam rezim totaliter.
Dilaporkan Associated Press, 21 September 2018, tuduhan awal penyebarluasan gambar-gambar kekerasan diajukan pada Maret terhadap Le Pen, seorang anggota parlemen, setelah hak kekebalannya dicabut.
Pada Kamis, dia menulis di Twitter keputusan yang memerintahkan tes kejiwaan yang tertanggal 12 September dan memberinya 10 hari untuk mengubah pertanyaan yang akan diajukan. Le Pen mengatakan di BFM TV bahwa rezim totaliter menggunakan metode seperti itu terhadap lawannya untuk membuat mereka terlihat seperti orang gila.
Kicauan Le Pen pada Desember 2015 juga menunjukkan eksekusi oleh ekstremis ISIS, termasuk pembunuhan reporter Amerika James Foley. Dia mengunggah gambar itu setelah serangan November 2015 oleh ISIS yang menewaskan 130 orang.
Marine Le Pen menyebut perintah pengadilan yang memerintahkan evaluasi kejiwaan atas dirinya "halusinasi".
Ketua umum partai Nasional Prancis (sebelumnya Front Nasional) telah mengeluarkan perintah yang mengatakan itu berasal dari para hakim di Nanterre dekat Paris, menyeru dia untuk "menjalani pemeriksaan kejiwaan", seperti dilansir dari Russia Today.
"Karena mencela kengerian dari Daesh (ISIS) dengan tweet, sistem peradilan telah merujuk (saya) pada penilaian psikiatri. Seberapa jauh mereka akan bertindak?!" tulis Le Pen di Twitter.
Kandidat presiden Prancis pada pilpres 2017 mengecam perintah itu sebagai "hal yang mengada-ada dan mengatakan rezim ini benar-benar mulai menakut-nakuti (kita)," kata Le Pen.
Salah satu gambar yang diunggah Le Pen menunjukkan tubuh James Foley, yang dipenggal kepalanya oleh ekstremis pada Agustus 2014. Saat itu pihak keluarga mengatakan mereka sangat terganggu oleh penggunaan gambar dan pemberitaan Jim Foley tanpa izin demi kepentingan politik Marine Le Pen.
Le Pen kemudian menghapus gambar dan mengatakan bahwa dia didakwa karena mengutuk kengerian Daesh.
Jika terbukti, Le Pen menghadapi hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda 75 ribu Euro atau Rp 1,3 miliar.
Sejumlah politisi telah mengecam keputusan hakim terhadap Le Pen. Menurut anggota Majelis Nasional Gilbert Collard, perintah itu berarti "psikiatriasi opini politik".
Rekan populisnya, Wakil Perdana Menteri Italia, Matteo Salvini, juga menanggapi kasus ini di Twitter untuk menyatakan dukungan bagi Le Pen.
Ini bukan pertama kalinya Marine Le Pen bertepuk tangan dengan pihak berwenang. Pada 2017, sekitar dua bulan sebelum pemilihan presiden, dia dipanggil oleh hakim karena dugaan penyalahgunaan dana Uni Eropa. Pengadilan mengatakan bahwa staf Marine Le Pen secara fiktif bekerja di Parlemen Eropa sebagai asisten, namun politikus populis Prancis itu membantah tuduhan.
Pada Juli ini, hakim Prancis memblokir 2 juta euro atau Rp 34 miliar dana sumbangan untuk partai Marine Le Pen, dan ia pun mengutuk langkah itu sebagai pukulan terhadap demokrasi, karena menahan dana kemungkinan akan mengakibatkan partainya mati.
Sumber: Tempo