SUKABUMIUPDATE.com - DERITA anak Indonesia yang diterungku di penjara orang dewasa Australia tidak boleh terulang. Ratusan bocah Indonesia yang didakwa terlibat penyelundupan manusia ke Australia pada 2008-2013 menjalani proses hukum tanpa pendampingan yang memadai. Mereka ditahan di penjara dengan keamanan maksimumsebagian mengalami perundungan seksual.
Pada periode itu, ribuan orang dari Afganistan dan negara-negara Timur Tengah singgah di Indonesia sebelum mencapai tujuan akhir, Australia. Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi, UNHCR, pada 2010 sebanyak 12.640 orang mencari suaka ke Australia. Pada 2011, jumlahnya 11.510 orang, lalu meningkat tajam pada tahun-tahun berikutnya.
Untuk menangkal gelombang itu, pemerintah Australia memperketat pengawasan di perbatasannya. Di sinilah para pencari keuntungan mengambil peran, menyediakan "jasa" pengangkutan buat pencari suaka.
Kemiskinan merupakan awal dari cerita kelam ini. Anak-anak di bawah umur terpaksa bekerja menjadi buruh nelayan, kuli angkut pelabuhan, atau anak buah kapal demi bertahan hidup. Ketika pengungsi dari negara-negara yang sedang berkonflik secara bergelombang mencari suaka ke Australia melalui perairan Indonesia, nasib sebagian anak-anak itu menjadi rumit. Mereka tergiur upah besar dari kapten kapal untuk mengangkut imigran ilegal menuju Australia.
Risiko terberat pun harus mereka ambil: mati diempas ganasnya laut atau ditangkap aparat keamanan negara itu. Dalam sejumlah kasus, anak-anak malang tersebut diperdaya oleh kapten kapal yang melarikan diri sebelum biduk itu mencapai Australia. Anak yang dibayar beberapa puluh juta rupiah "dipaksa" menjadi nakhoda untuk membawa para pengungsi ke tujuan. Di Australia, anak-anak dan para pengungsi disambut todongan senjata penjaga perbatasan.
Anak Indonesia itu kebanyakan berasal dari kota yang merupakan jalur pencari suaka, antara lain Pulau Rote; Muara Angke, Jakarta Utara; Alor, Kupang, Nusa Tenggara Timur; Batam; Cirebon, Jawa Barat; dan Cilacap, Jawa Tengah. Kementerian Luar Negeri mencatat, 274 anak ditangkap karena dituduh ikut menyelundupkan manusia. Catatan parlemen Australia jauh lebih besar: 1.600 anak terlibat dalam penyelundupan imigran gelap sepanjang 2008-2012.
Nasib bocah-bocah tersebut makin buruk ketika menjalani proses hukum. Aparat Australia memperlakukan mereka sebagai tahanan dewasa. Mereka juga tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai dari pemerintah Indonesia. Justru aktivis-aktivis Australialah yang datang membela. Tim investigasi majalah ini mewawancarai sejumlah orang yang pernah mengalami perlakuan buruk di bui Australia. Sebagian di antaranya merasakan trauma panjang sehingga tidak pernah menceritakan peristiwa itu kepada keluarga.
Cerita kelam anak-anak di penjara Australia itu sekaligus menunjukkan sisi gelap diplomat kita. Pejabat di kantor konsulat Republik Indonesia di Perth pada periode itu mengabaikan perlindungan terhadap warga negara, yang seharusnya menjadi tugas utama mereka. Konsul jenderal mudah menyerah terhadap pernyataan aparat bahwa anak-anak tersebut sudah dewasa dan, karena itu, wajib menjalani hukuman sesuai dengan hukum Australia. Ia semestinya sekuat tenaga mengumpulkan data kependudukan para tahanan untuk membuktikan hal sebaliknya.
Pengabaian tugas menyediakan bantuan dan perlindungan bagi warga negara Indonesia sering menjadi kelemahan kantor-kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri. Sejumlah tenaga kerja Indonesia bahkan dihukum mati di negara lain tanpa setahu mereka. Pada awal tahun ini, pengadilan Arab Saudi menghukum pancung Zaini Misrin, perempuan asal Madura yang didakwa menyiksa majikannya, tanpa memberikan notifikasi kepada pemerintah Indonesia. Kerap kantor perwakilan Indonesia "kecolongan" dan gagal memberikan perlindungan bagi warga negaranya.
Perlakuan aparat hukum Australia kepada anak-anak juga sangat tidak patut. Menggunakan sinar-X pergelangan tangan untuk memastikan anak-anak itu telah dewasa jelas tindakan yang gegabah. Tak ada upaya lebih jauh untuk memastikan usia para tahanan. Tindakan hukum yang sewenang-wenang ini menimbulkan dampak panjang bagi anak-anak, terutama kondisi psikologis mereka. Karena itu, usaha sejumlah advokat Australia menuntut pemerintah negara itu memberikan kompensasi bagi anak-anak layak diapresiasi.
Kementerian Luar Negeri mesti mendukung langkah itu dengan memasok data yang diperlukan. Anggap saja ini menebus kecolongan di masa lalu.
Sumber: Tempo