SUKABUMIUPDATE.com - Lembaga pemeringkat kredit Standard & Poor’s menurunkan tingkat kredit Turki menjadi non investasi atau junk. Alasannya, lira mengalami volatilitas yang ekstrim sehingga lembaga ini memprediksi Turki bakal mengalami resesi pada 2019.
Lembaga pemeringkat ini menurunkan peringkat satu level dari BB- menjadi B+ dengan outlook stabil setelah nilai tukar lira sempat melemah pada awal pekan ini menjadi 7,24 atau turun 20 persen.
“Penurunan peringkat ini menggambarkan prediksi kami bahwa volatilitas mata uang Turki lira dan proyeksi keseimbangan neraca pembayaran bakal melemahkan perekonomian Turki. Kami memprediksi resesi pada tahun depan,” begitu pernyataan S&P.
S&P juga memprediksi Turki bakal mengalami inflasi sekitar 22 persen dalam empat bulan ke depan atau naik dari saat ini yang berada di kisaran 15 persen. Inflasi Turki sempat menyentuh level 69 persen pada sekitar 2000 sebelum Recep Tayyip Erdogan menjabat sebagai Perdana Menteri untuk pertama kalinya.
Pelemahan nilai tukar lira ini bakal menambah tekanan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki uang dalam valuta asing. Ini juga meningkatkan resiko pendanaan bagi perbankan domestik.
“Meskipun ada resiko ekonomi yang meningkat, kami melihat respon kebijakan dari lembaga moneter dan pajak Turki terbatas,” begitu pernyataan S&P.
Seperti dilansir Hurriyet Daily News, nilai tukar lira mengalami pelemahan pada Jumat, 10 Agustus 2018 setelah Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan kenaikan tarif impor untuk komoditas baja dan aluminium dari Turki menjadi masing-masing 50 persen dan 20 persen.
Ini membuat harga jual komoditas itu menjadi terlalu mahal sehingga menutup peluang pasar perusahaan Turki di AS.
Sebelumnya, AS juga mengenakan sanksi kepada dua orang menteri Turki karena pemerintah menolak membebaskan pastor asal AS, Andrew Brunson, yang sedang menjalani proses hukum terkait dugaan melakukan kegiatan mata-mata dan terorisme.
Presiden Turki Erdogan membalas tindakan Trump dengan menaikkan tarif impor dua kali lipat untuk produk mobil penumpang, alkohol, dan tembakau. Erdogan juga memboikot produk elektronik AS seperti iPhone.
Bank sentral Turki CBRT juga membatasi transaksi valas antara bank Turki dan bank asing untuk menekan aksi spekulasi. Erdogan mengatakan negaranya akan menggunakan mata uang lira lebih banyak untuk ekspor dan impor dibandingkan dolar misalnya dengan Cina, Rusia, Ukraina dan Iran.
Nilai tukar lira sempat menguat dari 7,24 menjadi 5,8 per dolar para Jumat. Ini terjadi karena adanya dukungan komitmen investasi dari Qatar senilai US$15 miliar atau sekitar Rp221 triliun. Saat ini, nilai tukar lira melemah ke level 6 per dolar setelah adanya pengumuman dari S&P.
Sumber: Tempo