SUKABUMIUPDATE.com - Teheran - Ketika rakyat Iran berduyun-duyun menuju tempat pemungutan suara dalam pemilihan presiden atau pilpres pada Jumat (19/5), mereka akan melihat daftar seluruh calon pemimpin yang akan dicoblos adalah laki-laki. Selama empat dekade sejarah pemerintahan Republik Islam Iran, tak satupun perempuan diperkenankan menduduki posisi tinggi di pemerintahan.Â
Padahal sebanyak 137 perempuan Iran dari 1.700 orang mengajukan diri sebagai calon presiden, termasuk perempuan populer Azam Taleghani dalam pemilihan presiden tahun 2017.Â
Nenek berusia 72 tahun, itu adalah mantan angota parlemen dan dikenal pula sebagai putri dari seorang Mullah, ulama yang disegani di Iran.
Taleghani mendaftarkan diri sebagai calon presiden sejak 1997. Langkah ini sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi Iran karena yang diperbolehkan memimpin negara hanyalah kaum laki-laki.
Menurut Taleghani aturan di konstitusi itu perlu ditinjau kembali. Dia mengatakan, siapapun boleh maju sebagai calon presiden baik laki-laki maupun perempuan.
"Mereka harus diuji, memiliki kecakapan politik dan berpengalaman sebagai politikus," ucapnya seperti dikutip BBC.
Namun langkah Taleghani menjadi calon presiden Iran dihentikan oleh lembaga superbody Dewan Wali. Nama dia dicoret dari daftar calon presiden.
Kaum perempuan secara tegas dilarang maju sebagai calon presiden sesuai konstitusi negara, namun mereka diperkenankan memilih calon yang dikehendaki. Untuk itu, suara mereka menjadi rebutan bagi para calon, termasuk inkumben Hassan Rouhani.
Di awal kampanye, Rouhani mengunggah fotonya di media sosial yang menimbulkan kegemparan. Pada foto tersebut Rouhani tampak berjalan di pegunungan diiringi dua perempuan pendaki gunung yang jilbabnya tak sesuai dengan kaidah kelompok garis keras.
Kendati dilarang, Taleghani akan terus berjuang maju sebagai calon presiden Iran pemilu mendatang. Dia akan memilih Rouhani di kotak suara di Universitas Amir Kabir.
"Mungkin kita tidak akan pernah menjadi seorang presiden perempuan," ucapnya kepada para mahasiswa. "Tetapi itu bukan berarti hak tersebut dicabut dari kami." Memang faktanya, perempuan Iran masih kesulitan mengakses dunia politik ataupun jabatan tinggi dalam birokrasi.Â
Â
Sumber: Tempo