SUKABUMIUPDATE.com - Salah satu tempat berziarah ummat Islam yang terkenal di Madinah adalah Masjid Qiblatain. Masjid ini terletak sekitar 7 km di sebelah timur laut Masjid Nabawi.
Awalnya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah, karena dibangun di bekas rumah Bani Salamah.
Masjid Qiblatain adalah masjid yang memiliki dua kiblat. Qiblatain artinya dua kiblat. Kiblat pertama yang menghadap ke Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis (Palestina), dan kiblat kedua yang menghadap ke Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah.
Menurut laman Kemenag dari Arabnews, masjid ini dibangun oleh Sawad bin Ghanam bin Kaab pada tahun kedua hijriah, tempat ini secara historis menjadi penting bagi umat Islam karena di sanalah turunnya wahyu Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad untuk mengubah arah kiblat.
Menurut Prof Dr KH Aswadi MAg, Konsultan Ibadah PPIH Daker Madinah, hal itu terjadi pada bulan Syakban, ketika Nabi Muhammad SAW memimpin para sahabatnya saat salat Zuhur, kemudian diturunkan wahyu untuk menghadap ke arah Ka'bah.
Ketika sudah salat dua rakaat, turunlah wahyu yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat, maka Nabi langsung melakukan, sesegera mungkin untuk melakukan perubahan itu.
"Karena itu merupakan perintah langsung di rakaat kedua atau dua rakaat bagian yang kedua. Dan langsung baginda Rasul itu mengalihkan kiblatnya itu dari Baitul Maqdis ke Ka'bah Baitullah. Ini kemudian diikuti oleh semua jema'ah," katanya.
Baca Juga: Cuaca di Makkah Capai 43 Celcius, Jamaah Haji Diimbau Pakai Masker Antisipasi ISPA
Sejarah Perubahan Arah Kiblat
Menurut Aswadi, ada perbedaan pendapat mengenai waktu perpindahan arah kiblat tersebut.
"Itu tahun ke-2 Hijriah. Jadi, sebagian mufassir menyatakan bahwa itu terjadi di bulan Syakban. Ada yang mengatakan di bulan Rajab. Ada yang mengatakan itu adalah hari Senin. Ada yang mengatakan itu hari Selasa. Ada yang mengatakan salat zuhur, ada yang mengatakan salat Asar," ujar guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menyatakan bahwa itu terjadi saat Salat Zuhur. “Pendapat yang paling tepat adalah salat yang dikerjakan di Bani Salamah pada saat meninggalnya Bisyr bin Barra' bin Ma’rur adalah Salat Zuhur. Sedangkan, salat yang pertama kali dikerjakan di Masjid Nabawi dengan menghadap Ka’bah adalah Salat Asar."
Kisah perpindahan arah kiblat ini bermula ketika Nabi Muhammad mengunjungi ibu dari Bisyr bin Barra' bin Ma’rur dari Bani Salamah yang ditinggal mati keluarganya. Kemudian tibalah waktu salat. Nabi pun salat bersama para sahabat di sana.
Dua rakaat pertama masih menghadap Baitul Maqdis, sampai akhirnya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pemindahan arah kiblat. Wahyu datang ketika baru saja menyelesaikan rakaat kedua.
Dalam Al-Qur'an Allah berfirman, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Allah dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144).
Begitu menerima wahyu ini, Rasul langsung berpindah 180 derajat, diikuti oleh semua jemaah menghadap Masjidil Haram.
Pada awalnya, kata Aswadi, kiblat salat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an Surah Ali Imran ayat 96: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Sedangkan Al-Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari Bani Israil. Dari Madinah, Baitul Maqdis berada di sebelah utara, sedangkan Baitullah di bagian selatan.
Ketika masih di Makkah, Nabi salat menghadap Baitul Maqdis, juga sekaligus menghadap Ka'bah. Nabi menghadap ke utara, di mana posisi Ka'bah searah dengan Baitul Maqdis.
Perubahan arah kiblat sendiri sudah diinginkan Nabi, karena selama di Makkah beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis, bahkan sampai di Madinah pun, beliau masih menghadap ke sana lebih dari setahun.
Namun, beliau terus memohon, mencari kepastian dan berharap agar kiblat dipindahkan ke Ka’bah, sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 144, "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai."
Arsitektur Masjid Qiblatain
Masjid Al-Qiblatain sudah mengalami beberapa kali pemugaran hingga renovasi. Awalnya masjid ini dikelola oleh Khalifah Umar ibn al-Khattāb. Lalu direnovasi dan dibangun kembali ketika Kesultanan Usmani berkuasa.
Pada 1987 Pemerintah Kerajaan Arab Saudi di bawah Raja Fahd pernah memperluasnya, merenovasi dan membangun dengan konstruksi baru, tetapi tidak menghilangkan ciri khas masjid tersebut.
Di bagian luar, arsitektur masjid terinspirasi dari elemen dan motif tradisional sehingga menampakkan citra otentik sebuah situs bersejarah.
Ruang salat mengadopsi geometri dan simetri ortogonal yang ditonjolkan dengan menara kembar dan kubah kembar. Kubah utama yang menunjukkan arah kiblat yang benar dan kubah kedua hanya dijadikan sebagai pengingat sejarah. Ada garis silang kecil yang menunjukkan transisi perpindahan arah kiblat.
Masjid Qiblatain awalnya memang memiliki dua arah mihrab yang menonjol yang umumnya digunakan oleh Imam salat, ke arah Makkah dan Palestina.
Usai renovasi, Masjid Qiblatain dibangun dengan memfokuskan satu mihrab yang menghadap ka’bah di Makkah, sedangkan penanda kiblat lama yang ke Baitul Maqdis dipasang di atas pintu masuk ke ruang salat. Desainnya merupakan reproduksi mihrab Sulaimani seperti di ruang bawah kubah sakhrah (kubah batu) di Yerusalem mengingatkan kepada mihrab Islam tertua yang masih ada.
Sumber : Kemenag.go.id