SUKABUMIUPDATE.com - Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Bulan ini merupakan waktu untuk meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Namun, bagi warga Gaza Palestina, mereka harus berpuasa di tengah suasana perang yang mencekam.
Suasana Ramadan yang seharusnya diwarnai dengan kehangatan dan kebersamaan, bagi warga Gaza tentunya sangat berbeda. Mereka harus menjalani ibadah puasa Ramadan dengan suara sirine ambulan hingga suara bom.
Hari pertama Ramadan yang jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 terasa seperti hari-hari biasa bagi warga Gaza Palestina. Mereka hidup dalam ketakutan, kelaparan dan penyakit, dan terus dihadapkan antara hidup dan mati.
Baca Juga: 2000 Tenaga Medis di Gaza Utara Jalani Ramadan Pertama Tanpa Makan Sahur dan Buka Puasa
Lalu, bagaimana warga Gaza menjalani Ramadan saat perang?
Kelaparan
Mengutip Tempo.co, PBB melaporkan sulitnya mencapai wilayah utara Gaza untuk mengirimkan bantuan makanan dan bantuan lainnya. Hal itu menyebabkan warga Gaza terancam kelaparan saat menjalani ibadah puasa. Agar tidak kelaparan, warga Gaza rela menjual barang apapun.
“Kami tidak tahu apa yang akan kami makan untuk berbuka puasa. Saya hanya punya tomat dan mentimun... dan saya tidak punya uang untuk membeli apa pun,” Zaki Abu Mansour, 63 tahun, seperti dilansir dari France24.
Menurut laporan PBB yang merujuk pada data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas, sudah 25 orang meninggal akibat kekurangan gizi dan dehidrasi, yang sebagian besar adalah anak-anak.
Baca Juga: Innalillahi, Korban Meninggal Akibat Serangan Israel di Gaza Tembus 30 Ribu Jiwa
Hidup di tenda pengungsian
Di tengah gejolak perang Israel-Hamas, warga Gaza tidak dapat merasakan nikmatnya bulan suci. Saat umat Islam di seluruh dunia menjalani ibadah puasa di siang hari, sebagian besar warga Gaza harus menghadapi serangan bom yang menyebabkan mereka turun tangan mencari korban selamat atau jenazah yang tertimbun di antara reruntuhan rumah yang hancur.
Harb, warga Gaza yang mengungsi bersama keluarganya yang berjumlah 11 orang dari Sheikh Redwan di Gaza utara, menceritakan mendengar suara bom dan ambulans yang melaju tanpa henti.
“Ramadhan tahun ini sangat berbeda,” katanya.
Hantam bom menghancurkan rumah-rumah sehingga warga Gaza terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian. Meski begitu, sejumlah penduduk Gaza menemukan cara untuk merayakan awal Ramadan. Mereka membuat dekorasi sederhana dan membagikan lentera tradisional di antara tenda tempat tinggal.
“Saat ini, kebanyakan orang berada di tempat penampungan, tenda darurat, dan di jalanan. Mereka kehilangan rumah, tempat perlindungan mereka,” kata Harb seperti dikutip dari Aljazeera.
Lonjakan harga
Di seluruh Jalur Gaza, masyarakat menghadapi lonjakan harga dan kelangkaan kebutuhan dasar, serta tingginya biaya hidup, yang semakin memperparah penderitaan mereka selama perang. Tidak hanya di Gaza, hal tersebut juga terjadi di pasar Deir el-Balah.
Jabr Mushtaha, 45 tahun, pedagang, yang dulunya merupakan seorang pembuat manisan terkenal di Kota Gaza menceritakan dulunya selama Ramadan dia sibuk melayani pelanggan, tapi kini kondisinya berbeda. Tokonya sudah remuk dibom, begitu juga dengan rumahnya hingga membuatnya menjadi pengungsi.
Dilansir dari Al Jazeera, dia mengungsi ke Deir el-Balah lima bulan lalu dan sejak itu berjuang untuk menemukan bahan mentah yang dia perlukan untuk terus membuat manisan. Akan tetapi, harga bahan mentah juga melonjak drastis. Mushtaha mengatakan, gula yang dulunya dihargai 95 shekel ($26) per kantong, kini harganya mencapai 3 ribu shekel ($831 / Rp 12 juta).
“Dengan harga yang begitu mahal, masyarakat hampir tidak mampu membeli kebutuhan pokok, apalagi barang mewah,” tambahnya.
Akses Ibadah Ke Masjid Al Aqsa Dibatasi
Israel juga membatasi akses ke Masjid Al Aqsa dengan alasan masalah keamanan. Padahal pada tahun lalu, ratusan ribu orang bisa masuk ke masjid tersebut, namun kebanyakan dari mereka adalah perempuan, anak-anak, dan laki-laki lanjut usia.
Badan militer Israel yang bertanggung jawab atas urusan Palestina di Tepi Barat, yang dikenal sebagai COGAT, mengatakan pada Jumat, 8 Maret 2024, beberapa Muslim dari Tepi Barat akan diizinkan masuk ke komplek Masjid Al Aqsa untuk salat selama Ramadhan, namun mereka tidak menjelaskan lebih lanjut.
Setelah sempat simpang-siur pada bulan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan umat Islam boleh beribadah di Masjid al Aqsa hanya saja jumlahnya dibatasi, di mana aturan ini sama dengan tahun lalu.
“Ini adalah masjid kami dan kami harus merawatnya. Kami harus melindungi kehadiran umat Muslim di masjid ini yang seharusnya bisa masuk dalam jumlah yang besar secara damai dan aman,” kata Azzam al Khatib, Direktur Jerusalem Waqf, yayasan yang mengawasi Al Aqsa, seperti dikutip Reuters.
Sumber: Tempo.co (Rizki Dewi Ayu)