SUKABUMIUPDATE.com - Geert Wilders, pemimpin Partai Kebebasan (PVV) jadi calon kuat Perdana Menteri (PM) Belanda berikutnya menyusul kemenangan Partai yang dipimpinnya itu dalam pemilu Belanda, Rabu 22 November 2023 lalu. Tokoh ekstremis sayap kanan negeri kincir angin yang kerap menyuarakan pandangan anti-Islam ini rupanya memiliki darah Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia, dari jalur ibunya.
Dikutip dari suara.com, sosok Geert Wilders (60 tahun) yang nyentrik dengan rambut perak klimis, dikenal publik sejak muncul di dunia perpolitikan Belanda pada akhir 1990an. Sejatinya, Wilders berambut cokelat, ia mengecat rambutnya demi citra sebagai pribumi Eropa, yang menolak para imigran.
Pandangan Wilders yang menghasut terhadap Islam telah memicu ancaman pembunuhan dan dia telah hidup di bawah perlindungan ketat polisi selama bertahun-tahun. Ia menyebut Islam sebagai ideologi terbelakang, menyamakan Nabi Muhammad dengan Hitler hingga membuat Muslim gerah dengan film Fitna pada 2008.
Komentar rasisnya itu terkadang menimbulkan protes dengan kekerasan di negara-negara dengan populasi Muslim yang besar, termasuk Pakistan, Indonesia dan Mesir. Di Pakistan, seorang pemimpin agama mengeluarkan fatwa yang menentangnya.
Profil Geert Wilders
Wilders tumbuh di Venlo, kota kecil di selatan Belanda yang berbatasan dengan Jerman. Kota itu dikenal miskin dan didominasi warga beragama Katolik. Meski demikian, Venlo memiliki komunitas yang lebih hangat dan erat, dibandingkan dengan wilayah utara Belanda yang individualis.
Politikus yang lahir pada 1963 itu merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Meski kini mengaku sebagai agnostik, ia tumbuh dalam keluarga Katolik.
Baca Juga: Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Setelah 78 Tahun!
Ayahnya, Johannes Henricus Andreas Wilders, pegawai di perusahaan lokal dan berasal dari Limburg, provinsi paling selatan Belanda. Dalam berbagai penampilan di publik, Wilders sering kali membanggakan Limburg, sebagai provinsi paling indah.
Ia juga sering tampil dan berbicara dengan bangga dalam bahasa Limburg, turunan dari bahasa Jerman dan Belanda.
Sementara soal ibunya, Maria Anne Ording, Wilders tak banyak bicara. Bahkan dalam biografinya yang terbit 2008, ia berbohong soal latar belakang keluarga sang ibu, yang disebutnya sebagai putri perwira KNIL Eropa yang lahir di Hindia Belanda-sebutan untuk Indonesia sebelum merdeka.
Padahal menurut penelusuran Lizzy van Leeuwen, antropolog dan pakar administrasi publik Belanda yang tayang di De Groene Amsterdammer pada 2009 lalu, Maria ibu Geert lahir di Indonesia dari keluarga campuran Indonesia.
Maria, merupakan putri dari Johan dan Johanna Ording. Johan, kakek Wilders, adalah pegawai negeri Belanda di Jawa Timur dan Sukabumi. Sementara Johanna putri dari keluarga Indo-Yahudi bermarga Meijer yang cukup terkenal di Hindia Belanda.
Ibu Johanna Wilders diyakini merupakan perempuan lokal Sukabumi, sementara ayahnya berdarah Yahudi. Pengaruh Johanna, yang disebut masih terus mengenang kehidupannya yang lebih enak di Indonesia hingga akhir hayatnya, sangat kuat dalam keluarga besar Wilders.
Paul Wilders, saudara laki-laki Geert, dalam sebuah wawancara dengan Politico pada 2009 silam, mengenang sang nenek sering menyajikan masakan "Tempoe Doeloe" dalam acara-acara besar.
"Saya ingat, kami menyebutnya rijsttafel," kata Paul, menggambarkan sajian makanan Indonesia berbagai rupa di atas meja, yang sangat populer di masa kolonial Belanda di Tanah Air.
"Jamuan itu akan berlangsung selama dua atau tiga hari. Meja penuh dengan berbagai makanan," kenang dia.
Bahkan dikutip tempo dari Daily Sabah pada 2020, Paul Wilders saat membongkar rahasia di balik kebencian Geert tergadap imigran, menyebut bahwa ia dan Geert merupakan keturunan orang Indonesia.
"Akar keluarga dan nama belakang kami berasal dari Jerman. Nenek kami adalah orang Indonesia dan istri Geert adalah orang Hungaria keturunan Turki. Kami semua adalah migran," kata Paul Wilders.
Baca Juga: Sejarah Pasar Malam di Indonesia, Dari Ratu Belanda Hingga Para Indies
Bertentangan dengan sikap saudaranya yang sangat anti-migran, Paul Wilders menyambut baik migran dan secara terbuka mengkritik retorika sayap kanan Geert Wilders. Dia memutuskan hubungan dengan saudaranya setelah perselisihan pada tahun 2016.
Van Leeuwen, yang meneliti catatan khusus soal Johan Ording di arsip-arsip Belanda dari era kolonial, menduga Wilders tumbuh dalam suasana ketidakpuasan komunitas Indo yang tidak terima Indonesia merdeka.
Orang-orang Indo dan Belanda kelahiran Nusantara juga juga mengalami krisis identitas. Mereka merasa tidak diterima di Belanda, negeri yang sungguh asing setelah lahir dan besar di Indonesia.
Menurut Van Leeuwen, 1 dari 5 orang Hindia Belanda yang pulang ke Belanda, akhirnya memutuskan untuk merantau kembali ke Amerika, Kanada atau Australia.
Sementara mereka yang bertahan bergabung dengan organisasi dan partai politik konservatif, yang mengagungkan nasionalisme, keunggulan budaya dan kesetiaan pada Kerajaan Belanda. Itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah imigran seperti banyak pendatang dari Maroko maupun Turki.
Wilders mengawali kariernya di politik dengan menjadi asisten Frits Bolkestein, Ketua Partai Kebebasan dan Demokrasi (VVD). Bolkestein lahir dari ibu yang lahir di Indonesia. VVD dikenal sebagai salah satu partai yang menentang penyerahan Papua ke Indonesia pada dekade 1950an.
Pada 1997 Wilders berhasil menjadi anggota dewan lokal Utrecht. Pada momen yang sama ia mulai bersuara menentang arus imigran Turki di Utrecht.
Baca Juga: Jika Terpilih, Geert Wilders Ingin Hapus Islam Dari Belanda
Saat itu ia mulai bertransformasi. Ia mengambil kursus media, melatih dialek Limburg yang kelak jadi ciri khasnya dan bahkan mengecat rambutnya yang coklat menjadi perak.
Ia mulai mencuri perhatian saat terpilih sebagai anggota parlemen pada 1998 dari VVD. Jangkung dan berambut perak, ia menarik perhatian media. Tetapi adalah pidatonya dan aksinya yang sering berseberangan dengan kebijakan partai yang membuatnya kemudian terus disorot.
Anti Islam
Wilders mengatakan ia mengambil sikap anti Islam sejak sutradara kontorversial Belanda, Theo van Gogh tewas dibunuh seorang Muslim Belanda keturunan Maroko pada 2002 lalu.
Tetapi pengalamannya dengan Islam sudah dimulai sejak muda. Pada awal 1980an, setelah lulus sekolah menengah, ia pernah berkelana di Timur Tengah. Ia pergi ke Mesir, Suriah, Iran dan Israel.
Di Israel, ia sempat tinggal lebih dari setahun di kibutz yang berbatasan dengan Yordania. Pengalamannya tinggal di Israel itu memberinya kesan negatif terhadap Islam dan menumbuhkan rasa cinta pada Israel, negara yang disebutnya mercusuar demokrasi di kegelapan Timur Tengah.
Pada 2006, Wilders mendirikan partai PVV karena tidak puas dengan VVD. Ada tiga peristiwa, menurut Politico, yang membuat Wilders memutuskan untuk mendirikan partai yang dalam manifestonya terang-terangan anti Islam serta imigran.
Pertama adalah pembunuhan anggota parlemen konservatif Pim Fortuyn oleh seorang ekstremis environtalis pada 2002. Fortuyn, yang juga seorang gay, menjadi sorotan media karena secara terbuka mengecam Islam dan kebijakan imigrasi Belanda yang longgar.
Wilders dinilai mengambil kesempatan untuk melanjutkan gagasan Fortuyn. Ia memutuskan untuk keluar dari VVD karena memprotes kebijakan partai yang mendukung bergabungnya Turki dengan Uni Eropa. Ia menyebut Turki sebagai Kuda Troya yang akan menghancurkan dunia Kekristenan Barat.
Masih pada 2002, sutradara Theo van Gogh dibunuh oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko. Mohammed Bouyeri, nama pelaku pembunuhan itu, mengatakan ia marah karena film Submission karya Van Gogh yang dinilai mendiskreditkan Islam.
Ketika polisi menginvestigasi pembunuhan Van Gogh, diketahui bahwa Mohammed Bouyeri juga berencana membunuh Wilders. Sejak saat itu, Wilders dikawal polisi selama 24 jam.
Ketiga, bergabungnya Martin Bosma, seorang mantan jurnalis yang kebetulan lewat di TKP pembunuhan Van Gogh saat akan membeli roti. Pengalaman itu itu membuat Bosma memutuskan bergabung dengan PVV bersama Wilders. Berdua, mereka membangun partai itu menjadi raksasa yang kini berpotensi menguasai Belanda.
Salah satu kontroversi yang dibuat Wilders adalah saat ia memproduksi film pendek Fitna pada 2008. Film berdurasi 17 menit dinilai menghina Islam dan memicu gelombang demonstrasi di berbagai negara Muslim, termasuk di Indonesia.
Baca Juga: Daftar Hotel di Bandung yang Simpan Kisah Mistis, Ada Penampakan Noni Belanda!
Sementara dalam program PVV dalam pemilu ini, dengan tegas dijelaskan bahwa partai akan "mengurangi Islamisasi" di Belanda. Caranya dengan mengurangi kebijakan pemberian suaka dan menutup arus masuk imigran ke Belanda.
"Belanda bukan negara Islam: tidak boleh ada sekolah Islam, Al Quran dan masjid," bunyi poin lain dalam program pemilu PVV, dilansir dari AFP. Partai itu juga pelarangan jilbab di kantor dan gedung pemerintahan Belanda.
Sementara soal imigrasi, selain menutup dan memperketat kebiakan imigrasi, Wilders mengatakan akan memulangkan para pencari suaka Suriah yang mendapat izin tinggal sementara di Belanda.
Sementara pengungsi yang mengantongi izin tinggal akan kehilangan izin mereka jika pergi berlibur ke negara asal mereka. Selain itu, jumlah pelajar asing di Belanda juga akan dibatas - kebijakan yang diduga akan berpengaruh pada Indonesia yang memiliki pelajar dalam jumlah cukup besar di Belanda.
Meski demikian Geert Wilders belum bisa dipastikan berhasil mengunci kursi Perdana Menteri Belanda. PVV dalam pemilu pekan ini meraih 37 dari 150 kursi parlemen. Agar bisa berkuasa, partai itu butuh minimal 39 kursi lagi dan karenanya harus berkoalisi dengan partai lain.
Pemimpin partai VVD dan NSC, yang masing-masing meraih 20 dan 24 suara, mengatakan membuka peluang koalisi dengan Wilders. Sementara koalisi Partai Buruh/Hijau, yang meraih suara terbanyak kedua, sudah menegaskan tidak tertarik bergabung dengan Wilders.
Geert Wilders sendiri mengatakan mengincar kursi perdana menteri dan berjanji akan menjadi pemimpin untuk semua warga Belanda.