SUKABUMIUPDATE.com - Direktur Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), Craig Mokhiber di New York, Amerika Serikat mengundurkan diri. Alasan pengunduran diri tersebut lantaran menilai organisasinya tak mampu menghentikan pembantaian warga Palestina di Gaza oleh Israel.
Melansir dari Tempo.co, Mokhiber, seorang pengacara HAM dengan pengalaman menginvestigasi situasi HAM di Palestina sejak 1980-an, mengajukan surat pengunduran dirinya kepada Komisaris Tinggi HAM, Volker Turk, pada Sabtu, 28 Oktober 2023 waktu setempat.
“Sekali lagi, kita melihat genosida terjadi di depan mata kita, dan organisasi yang kita layani tampaknya tidak berdaya untuk menghentikannya,” kata Mokhiber dalam surat yang beredar di media sosial, seperti diunggah oleh seorang jurnalis Al Jazeera di X pada Selasa, 31 Oktober 2023.
Baca Juga: Kenapa Semangka Jadi Simbol Dukungan untuk Palestina? Begini Asal Usul dan Maknanya
Mokhiber, yang telah bekerja di PBB sejak 1992, mengatakan selama kariernya di PBB ia telah menyaksikan genosida terhadap kelompok etnis Tutsi di Rwanda, muslim di Bosnia, Yazidi di Irak, dan Rohingya di Myanmar.
Dalam setiap kasus tersebut, katanya, kegagalan PBB untuk mencegah kekejaman massal baru jelas setelah kengerian yang dilalui warga sipil berakhir.
Ia menyamakan kasus-kasus tersebut dengan gelombang pembunuhan dan kekerasan yang dialami warga Palestina sepanjang masa berdirinya PBB.
“Komisaris Tinggi, kita gagal lagi,” ujarnya.
Kepada Komisaris Tinggi, ia mengatakan bahwa situasi di Palestina merupakan contoh sempurna dari genosida. Mokhiber menuding pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan sebagian besar negara Eropa “sepenuhnya terlibat dalam serangan mengerikan ini”.
Baca Juga: Angelina Jolie Bela Palestina! Sebut Gaza Mirip Penjara dan Kuburan Massal
Selain menolak untuk menuruti Konvensi Jenewa, kata Mokhiber, negara-negara tersebut juga secara aktif mempersenjatai serangan tersebut, memberikan dukungan ekonomi dan intelijen, dan memberikan perlindungan politik dan diplomatik atas kekejaman Israel.
Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Prancis telah secara terbuka mendukung hak Israel untuk membela diri. Menteri-menteri dari negara-negara tersebut menyatakan dukungannya pada dialog terbuka Dewan Keamanan PBB tentang situasi di Timur Tengah pada Selasa, 24 Oktober 2023.
Mereka mendukung hak Israel untuk membela diri atas serangan kelompok Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan setidaknya 1.400 orang dan menyandera sekitar 224 lainnya.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan balasan dari Israel yang berupa rentetan serangan udara dan darat serta blokade, sejauh ini telah menewaskan lebih dari 8 ribu warga Palestina.
Amerika Serikat diduga telah menggelontorkan uang miliaran dolar untuk membantu Israel. Pendanaan militer Amerika Serikat untuk Israel itu, mencapai US$3,8 miliar (Rp 60 triliun) pada 2023, sebagai bagian dari kesepakatan senilai US$38 miliar (Rp 606 triliun) selama 10 tahun yang diteken oleh mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 2016.
Baca Juga: Bacalah Doa Ini untuk Keselamatan Rakyat Palestina, Yuk Amalkan
Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebelumnya juga mengusulkan paket tambahan sebesar US$106 miliar (Rp1,6 kuadriliun) untuk meningkatkan pertahanan Ukraina, dan sisanya dibagi ke Israel, Indo-Pasifik, dan penegakan perbatasan. Lebih spesifik, sekitar US$14 miliar (Rp 222 triliun) akan diberikan ke Israel untuk mendanai dukungan pertahanan udara dan rudal serta inisiatif lainnya.
Serukan solusi satu negara dan akui penjajahan Israel
Dalam suratnya, Mokhiber mengangkat sepuluh poin untuk mengatasi situasi di Palestina, yaitu tindakan nyata, kejelasan visi, solusi satu negara, memerangi apartheid, pemulangan dan kompensasi bagi warga Palestina, kebenaran dan keadilan, perlindungan, perlucutan senjata, mediasi, dan solidaritas.
Menurut Mokhiber, PBB harus meninggalkan Perjanjian Oslo yang dianggapnya gagal dan tidak jujur. Perjanjian yang disetujui pada 1993 tersebut mengesahkan pendirian Otoritas Nasional Palestina dan mengakuinya sebagai mitra Israel dalam negosiasi tentang pemukiman Israel di kota Yerusalem, pemeliharaan kontrol Israel atas keamanan setelah pembentukan otonomi Palestina, dan hak Palestina kembali. Perjanjian ini tidak membangun negara Palestina yang pasti.
Baca Juga: Ramai Boikot Produk Pro Israel Demi Bela Palestina, Ada Banyak di Indonesia!
Ia pun mengatakan PBB harus mengakui kenyataan bahwa negara dengan kekuatan yang tidak proporsional (Israel) sedang menjajah, menganiaya, dan merampas penduduk asli di wilayah Palestina berdasarkan etnis. Alih-alih mendorong solusi dua negara seperti para pemimpin dunia, ia mengusulkan solusi pendirian satu negara, yaitu Palestina.
“Kita harus mendukung pembentukan negara tunggal, demokratis, sekuler di seluruh wilayah Palestina yang bersejarah, dengan hak yang sama bagi umat Kristen, Muslim, dan Yahudi. Dan oleh karena itu, (mendukung) penghapusan proyek kolonial pemukim yang sangat rasis, dan mengakhiri apartheid di seluruh negeri,” katanya.
Mokhiber juga menekankan perlunya penegakan hak untuk kembali dan kompensasi penuh bagi semua warga Palestina dan keluarga mereka yang saat ini tinggal di wilayah-wilayah pendudukan, Lebanon, Yordania, Suriah, dan diaspora di seluruh dunia. Diakuinya, hal ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dicapai, dan negara-negara Barat akan melawan di setiap langkah, sehingga semua pihak harus tabah.
Sementara untuk solusi jangka pendek, ia menyerukan antara lain gencatan senjata dan mengakhiri pengepungan yang sudah berlangsung lama di Gaza, menentang pembersihan etnis di Palestina, mendokumentasikan serangan genosida di Gaza, serta memberikan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi besar-besaran kepada rakyat Palestina.
“Kegagalan PBB di Palestina sejauh ini bukan menjadi alasan bagi kita untuk mundur,” katanya.
Sumber: Tempo.co