SUKABUMIUPDATE.com - Carina Citra Dewi Joe, nama lengkapnya, adalah satu dari orang Indonesia yang terlibat dalam riset dan produksi vaksin itu. Lebih dari yang dilakukan mahasiswa program doktoral Indra Rudiansyah, Carina Joe bahkan terdaftar sebagai satu di antara deretan ilmuwan pemegang hak paten vaksin AstraZeneca.
Ada seluruhnya enam paten dalam proses produksi vaksin itu dari awal hingga akhir. Satu di antaranya di bidang manufaktur di mana nama Carina ada di dalamnya. Lulusan SMAK 1 BPK Penabur Jakarta yang melanjutkan studinya ke Australia itu menjadi lead scientist di laboratorium yang melakukan upscaling bibit vaksin tersebut untuk kebutuhan uji klinis maupun komersialisasi (penggunaan massal).
“Bukan bagaimana-bagaimana. Paten atas nama saya ya karena saya memang bekerja untuk vaksin ini. Ada bos saya juga ada dalam paten itu. Semua untuk Universitas Oxford gitulah,” katanya saat ditanya bagaimana jalan mendapatkan paten tersebut.
Berikut ini penggalan penuturan Carina Joe kepada Majalah Tempo dan NET TV dalam wawancara daring pada Sabtu malam, 31 Juli 2021. Beberapa jawabannya dibantu dilengkapi Indra yang juga diwawancara bersamaan.
Keahlian yang dimiliki Carina Joe hingga bisa terlibat dalam produksi Vaksin AstraZeneca:
Carina Joe bekerja sebagai magang post-doc di Institut Jenner, University of Oxford, Inggris saat pandemi Covid-19 mulai merebak di dunia pada awal 2020. Saat itu, proyek yang diserahkan kepadanya adalah optimasi manufaktur vaksin rabies untuk persiapan uji klinis di Inggris Raya dan Tanzania.
Pengalamannya selama tujuh tahun di bidang lab-scale manufacture, juga sebagai sebagai post-doc, di laboratorium CSIRO, Australia, mendukung kepercayaan yang diberikan kepadanya itu. Program doktoral Carina Joe adalah juga soal vaksin, yakni menggarap mulai dari desain konstruksi sampai uji praklinis Vaksin Hepatitis B menggunakan teknik viral vector untuk peningkatan respons imunitas.
Peran dalam produksi vaksin AstraZeneca:
Carina Joe mengaku memiliki tim yang kecil saja. Dia menuturkan, di lingkungan akademis itu biasanya satu proyek satu post doc, dan dia, saat datang dan diterima magang, diminta in charge optimasi manufaktur atau perbanyakan vaksin viral vector untuk rabies. Kemudian ada pandemi dan butuh dosis vaksin covid-19 yang banyak untuk uji klinis dan komersialisasi.
“Awalnya masih saya dikerjakan sendiri tapi karena deadline mepet dan pekerjaannya banyak, akhirnya kami minta bantuan grup ilmuwan lain yang punya skill yang mirip-mirip,” kata dia.
Dalam grupnya, Carina Joe mengatakan menjadi lead scientist di laboratorium. Dia dibantu research assistant. Di atasnya ada ilmuwan yang menjadi project manager dan group leader. Di luar itu, ada magang post-doc juga yang diperbantukan dari grup lain. Saat itu, Carina mengungkapkan, Institut Jenner memang membekukan seluruh proyek penelitian di luar uji vaksin Covid-19.
Tantangan yang dihadapi:
Ketersediaan waktu demi bisa menyelamatkan banyak nyawa korban pandemi Covid-19 (Vaksin AstraZeneca adalah vaksin covid-19 yang paling cepat dibuat, 11 bulan). Pada Februari 2020 itu dia mengatakan cuma ada data volume produksi 30 mililiter dan dalam satu setengah bulan harus bisa sediakan sampai skala 200 liter. Jadi prosesnya, disebut Carina, harus robust. Dilakukan gradually dari 30 mililiter jadi 3 liter, 10 liter, 50 liter, sampai 200 liter dengan spesifikasi yang sama dalam semua volume, sesuai aturan viral vector. Proses pekerjaan juga harus steril sementara sel yang digunakan mudah sekali terkontaminasi. “Perlu skill yang memenuhi syarat,” katanya.
Hubungannya dengan Sarah Gilbert, ilmuwan yang dipuji karena melepas patennya agar vaksin AstraZeneca bisa cepat terdistribusi luas di dunia:
Tim ilmuwan di Institut Jenner tetap bekerja dalam grup dan atasan masing-masing saat berkolaborasi menggarap vaksin Covid-19. Sarah Gilbert berperan dalam pengembangan teknik viral vector sampai uji preklinis, ada yang berperan di uji klinis, Carina Joe ada di tahap manufaktur bibit vaksin.
Bagaimana bisa menjadi salah satu pemegang paten:
“Bukan bagaimana-bagaimana. Paten atas nama saya ya karena saya memang bekerja untuk vaksin ini.…ada bos saya juga ada di dalam paten itu,” katanya. Carina Joe menambahkan, ada banyak nama pemegang paten. Seluruhnya ada enam dan tiap paten bisa dimiliki beberapa ilmuwan. “Bukan satu paten untuk satu ilmuwan,” katanya lagi.
Bukan hanya Sarah Gilbert, seluruh pemegang hak paten termasuk dirinya telah melepas royalti sepanjang penggunaan vaksin AstraZeneca untuk masa pandemi. Ini adalah kebijakan University of Oxford. "Jadi bukannya paten dilepas tapi semua pemegang paten seputar vaksin AZ tidak mendapat royalti selama pandemi."
SUMBER: TEMPO.CO