SUKABUMIUPDATE.com - KH Dadun Abdulqohhar, yang lebih dikenal dengan nama Ajengan Dadun, adalah sosok ulama yang sangat dihormati di Sukabumi. Lahir pada 23 September 1923 di Desa Cantayan, Sukabumi, beliau merupakan putra kelima dari sembilan bersaudara pasangan KH. Abdurrahim dan Siti Zaenab.
Delapan saudaranya yang lain, sebagaimana tercantum dalam dokumen Silsilah Keluarga AMA KH. Abdurrahim, masing-masing bernama Acun Mansyur, Damanhuri, Siti Muznah, Anfasiah, Muhammad Maturidi, Bidin Saefudin, Ammatul Jabbar dan Abdul Malik.
Sementara dari pernikahannya dengan istri pertama, KH. Abdurrahim dan Empok, dikaruniai delapan orang putra putra-putri, yakni Iting, Abdullah, Ahmad Sanusi, Endah, Ulan, Soleh, Hanafi dan Nahrowi.
Sejak kecil, Ajengan Dadun dibesarkan dalam lingkungan religius yang kuat, di mana beliau bersama saudara-saudaranya mendapatkan pendidikan agama dan Al-Qur’an dari orang tua mereka.
Sebagai keturunan ulama, Ajengan Dadun mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat dan santri. Kehidupannya sejak kecil terarah pada penguasaan ilmu agama, mengikuti jejak orang tua yang juga ulama terkenal di Sukabumi, yaitu KH. Abdurrahim, yang mendirikan Pesantren Cantayan.
Pada masa kecilnya, beliau belajar langsung dari orang tua dan kakak-kakaknya, seperti Kyai Ahmad Nahrowi dan Kyai Uci Sanusi, serta sempat menempuh pendidikan selama 2 tahun di Madrasah Syamsul `Ulum Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi.
Ajengan Dadun lahir pada masa penjajahan Belanda, saat kondisi sosial-ekonomi rakyat sangat terpuruk. Di tengah-tengah tekanan tersebut, Ajengan Dadun dan keluarga ulama lainnya berjuang untuk mempertahankan tradisi keagamaan dan mendidik generasi muda, meski dalam keterbatasan akibat kontrol ketat dari pihak kolonial.
Kepribadian dan Kecerdasan Dadun Abdulqohhar
Ajengan Dadun, sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa yang jarang ditemui pada anak-anak seusianya. Banyak cerita tentang kecerdasannya, salah satunya adalah kemampuannya menghafal dan memahami kitab-kitab kuning seperti Hadits, Jurumiyah, dan Alfiyah dengan hanya sekali membaca. Hal ini menunjukkan kecerdasannya yang melebihi rata-rata anak seusianya.
Pada usia 11 tahun, ketika teman-teman sebayanya masih asyik bermain atau menggembala hewan, Dadun Abdulqohhar sudah dikenal sebagai dai (pendakwah) cilik yang terkenal di Sukabumi. Beliau selalu berkeliling ke berbagai daerah untuk memenuhi panggilan masyarakat dalam menyampaikan dakwah Islam. Di usia yang begitu muda, beliau juga sudah menghafal seluruh isi Al-Qur'an.
Tidak hanya cerdas, Dadun Abdulqohhar juga dikenal sebagai sosok yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja, serta selalu menghormati guru dan orang tua. Meski hampir semua gurunya adalah keluarga sendiri, penghormatan yang diberikan oleh Ajengan Dadun tetap lebih dari sekedar ikatan darah.
Selama perjalanan panjang dakwahnya, beliau dikenal sebagai ulama yang gigih memperjuangkan kemurnian ajaran Islam melalui konsep pemikiran Dinul Islam. Pemikirannya ini kemudian menjadi ciri khas dalam dakwah dan kehidupan beliau. Dalam pandangan Ajengan Dadun, Al-Qur'an merupakan pedoman utama dalam mencapai kehidupan duniawi yang ideal, yang selaras dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Esensi dari setiap kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Ajengan Dadun adalah untuk meluruskan pemahaman bahwa Islam merupakan sistem yang kaffah (sempurna dan menyeluruh), yang mampu memberikan jaminan terciptanya kedamaian, ketenangan, kerukunan, kesejahteraan, serta kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Namun, ajaran Islam ini sering kali bertentangan dengan kondisi faktual yang ada di masyarakat.
Salah satu contoh nyata adalah adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, padahal menurut Ajengan Dadun, Islam adalah totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Semua aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi, harus mengacu pada Al-Qur’an, karena Islam mengatur segala hal secara menyeluruh.
Kehidupan Rumah Tangga Ajengan Dadun
Ajengan Dadun juga memiliki kehidupan rumah tangga yang penuh keberkahan. Beliau menikah dengan empat orang istri dan dikaruniai 19 orang anak. Dari istri pertama, ibu Ikoh, beliau memiliki empat orang anak: Tati, Syarif Hidayat, Zainal Arifin, dan Muhammad AR.
Dari istri kedua, ibu Juhairiyah, beliau dikaruniai 13 orang anak: Lukman, Yusuf Efendi, Taufikurrahman, Dadang Sholahuddin, Euis Nurhayati, Jauhar, Cecep Luthfi, Nurdin Abdulqohhar, Heni Juhaeni, Ida Farida, Cucu Lidya, Asep Abdulqadir, dan Ela Nurlaela.
Dari istri ketiga, ibu Nana, beliau dikaruniai dua anak: Deni Abdulqohhar dan Aliyah. Sedangkan dari istri keempat, ibu Ai Sofiah, beliau tidak dikaruniai putra.
Meskipun memiliki kehidupan rumah tangga yang besar, Ajengan Dadun tetap fokus pada perjuangan dakwahnya. Kehidupan beliau menjadi contoh bagaimana menjalani kehidupan duniawi dengan penuh keseimbangan antara keluarga, dakwah, dan ilmu.
Baca Juga: Mengenang 20 Tahun Ulama Tafsir Sukabumi Berpulang, Biografi Singkat Buya KH Dadun Sanusi
Pendidikan dan Karier Dakwah
Sejak tahun 1936 hingga wafatnya pada tahun 2006, KH Dadun Abdulqohhar aktif dalam dunia dakwah Islamiyah, melalui pengajian-pengajian yang melibatkan berbagai kalangan, dari bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, mahasiswa, hingga para kiyai dan sarjana. Pada tahun 1936 hingga 1949, beliau masih terlibat aktif dalam pengelolaan Pesantren Cantayan Cibadak, Sukabumi.
Selain dakwah, Ajengan Dadun juga aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Beliau terlibat dalam Al Ittihdiyyatul Islamiah (AII), Persatuan Ummat Islam (PUI), dan Barisan Islam Indonesia (BII). Pada masa kemerdekaan, Ajengan Dadun turut aktif dalam perjuangan melalui partai Masyumi dan organisasi-organisasi lain yang berfokus pada penanggulangan ancaman dari penjajah maupun gerakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pada tahun 1964, beliau mendirikan Yayasan Da’wah, yang bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan. Yayasan ini memiliki tujuan mulia untuk mencetak kader yang berilmu dan berwawasan tinggi, serta mengembangkan keilmuan Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Ajengan Dadun juga aktif dalam mendirikan pesantren dan lembaga pendidikan di berbagai tempat, termasuk di Tegallega dan di Cibadak. Dengan semangat untuk mengatasi tantangan yang dihadapi umat, beliau membangun fasilitas-fasilitas pendidikan dan pengajaran yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar.
Perjuangan Kemerdekaan dan Keterlibatan dalam Politik
Pada masa perjuangan kemerdekaan (1945-1949), KH Dadun Abdulqohhar berperan aktif dalam barisan perjuangan. Beliau tergabung dalam Barisan Islam Indonesia dan Hizbullah, yang berjuang mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Meskipun pada akhirnya Hizbullah dibubarkan akibat kebijakan politik, Ajengan Dadun tetap melanjutkan perjuangan melalui pembentukan Pasukan Rakyat yang bekerja sama dengan TNI dalam mempertahankan wilayah Sukabumi.
Peran Ajengan Dadun dalam mempertahankan kemerdekaan sangat signifikan. Setelah perjanjian Renville, beliau bersama pasukan rakyat berusaha untuk mempersiapkan kekuatan di daerah Sukabumi dan menggalang konsolidasi di berbagai kecamatan. Bahkan pada 1949, beliau sempat ditangkap oleh tentara Belanda, namun berhasil melarikan diri dan terus melanjutkan perjuangannya.
KH. Dadun Abulqohhar bin KH. Abdurrahim (Ajengan Cantayan) | Foto : Istimewa
Yayasan Da’wah dan Pengembangan Pendidikan
Pada tahun 1964, beliau mendirikan Yayasan Da’wah yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan Islam. Di bawah yayasan ini, beliau mendirikan berbagai lembaga pendidikan, termasuk pesantren-pesantren yang kini masih beroperasi hingga saat ini. Beliau juga mendirikan Yayasan Pembangunan Umat Islam bersama MUI dan pemerintah setempat, yang bertujuan untuk mendirikan pesantren tinggi di Cibinong, Bogor.
Tidak hanya aktif di Sukabumi, beliau juga mendirikan Yayasan Da’wah di Jakarta yang mengelola lembaga pendidikan tinggi, dengan program utama yang sama, yakni untuk mencetak kader-kader da’i yang berkualitas.
Legasi KH Dadun Abdulqohar
Ajengan Dadun Abdulqohar meninggalkan warisan yang besar, baik dalam bidang dakwah, pendidikan, maupun perjuangan kemerdekaan.
Karya-karya tulis beliau juga menjadi rujukan penting dalam pengajaran agama Islam, termasuk kitab-kitab yang diterbitkan dalam Bahasa Sunda dan Indonesia, diantaanya:
1. Dinul Islam edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
2. Tafsir Juz ke 30 edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
3. 25 Khutbah Jum'at edisi Bahasa Sunda
4. Tuntunan Shalat edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
5. Tuntunan Shaum edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
6. Tuntunan Haji edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
7. Tafsir AlQur'an Surat Alfatihah edisi Bahasa Sunda dan Indonesia
8. Apa dan siapa manusia itu? Edisi Bahasa Indonesia
9. Muslimkah saya? Edisi Bahasa Indonesia
10. Tarjamah haditsularba'in edisi Bahasa Sunda
11. Taajul'urusli'athoillah edisi Bahasa Sunda
12. Asaasulislam wamaaqooshiduhu edisi Bahasa Sunda
13. Khutbah-khutbah Iedul Fitri dan Iedul Adha edisi bahasa Indonesia
14. Uswatulmusthofa Fizikrilmaula (contoh Zikir Rasulullah) edisi Bahasa Sunda
15. Khutbah Nikah, edisi Bahasa Indonesia
16. Pembudayaan Al-Qur'an Dalam Masyarakat, edisi Bahasa Indonesia
Kehidupan dan perjuangan KH Dadun Abdulqohhar menjadi contoh teladan bagi generasi ulama dan umat Islam di Sukabumi, serta bagi siapa saja yang ingin mengikuti jejak beliau dalam berjuang di jalan dakwah, dan pendidikan.
Silsilah KH. Dadun Abdulqohhar dan KH. Ahmad Sanusi bin KH. Abdurrahim Cantayan Sampai ke Nabi Muhammad SAW
KH. Abdurrahim merupakan salah satu ulama terkemuka di Sukabumi, dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Cantayan, yang merupakan salah satu pesantren tertua di wilayah Sukabumi. KH Abdurrahim mendapatkan julukan sebagai Ajengan Cantayan.
Dalam buku Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi, terdapat kisah lisan yang berkembang di kalangan keluarga dan masyarakat sekitar mengenai asal usul KH. Abdurrahim. Beliau konon berasal dari Sukapura, sebuah daerah yang kini menjadi bagian dari Tasikmalaya. Berdasarkan cerita ini, KH. Abdurrahim adalah keturunan H. Yasin, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Anggadipa.
Raden Anggadipa sendiri dikenal dengan sebutan Raden Tumenggung Wiradadaha III saat menjabat sebagai Bupati Sukapura, dan ia juga dikenal dengan julukan Dalem Sawidak karena memiliki banyak anak, sekitar enam puluh orang.
Cerita ini sejalan dengan informasi yang tercatat dalam majalah Ad-Dzurriyyat, yang menyebutkan bahwa H. Yasin adalah keturunan dari Syekh Abdul Muhyi, seorang penyebar agama Islam di wilayah Tasikmalaya Selatan yang pusat dakwahnya berada di Pamijahan. Keturunan Syekh Abdul Muhyi ini, termasuk H. Yasin, melanjutkan perjuangan dakwah Islam ke berbagai wilayah di Jawa Barat, salah satunya adalah daerah Sukabumi.
H. Yasin, melakukan perjalanan panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk menetap di daerah yang kini dikenal dengan nama Cantayan, Sukabumi. Dalam perjalanan hidupnya, H. Yasin ditemani oleh istrinya, Naisari, dan dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai sepuluh orang anak. Salah satu dari mereka adalah KH. Abdurrahim, anak keenam dari pasangan ini.
Selain KH. Abdurrahim, H. Yasin juga memiliki lima orang anak yang lebih tua: Sardan, Eming, Ja’ud Coon, Maryam, dan Iti. Sedangkan empat anak bungsunya adalah Fatimah, Madjid, Eming Emot, dan Rohman.
Dengan demikian, KH. Abdurrahim dan keturunannya, termasuk KH. Ahmad Sanusi, merupakan bagian penting dari sejarah panjang penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan Indonesia secara keseluruhan, yang akar silsilahnya dapat ditelusuri hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
Sumber :
1. wonderfulnose.blogspot.com,
2. Artikel berjudul Ajengan Dadun Abdulqohhar Tokoh Ulama Kesohor Di Sukabumi (1936-2006) oleh M. Syahru Ramadlan, Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta