Tujuh Belas Agustus 2024, Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-79. Gegap gempita perayaan 17 Agustus 2024 kali ini lebih seru, karena pusat peringatan kemerdekaan diadakan di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim).
Sebagai rakyat awam, kita ikuti saja apa yang dikehendaki pimpinan nasional, dalam rangka "mengglorifikasi" pembangunan "infrastruktur" besar-besaran dengan mengandalkan utang yang amat besar demi mewujudkan Ibu Kota baru, IKN.
Saat ini, negara mempunyai utang Rp 8.338,43 triliun (per-April 2924). Bila utang BUMN dimasukkan, seperti halnya perhitungan utang negara di Jepang, maka kata pengamat ekonomi Faisal Basri dan anggota DPR Misbachun, utang negara sudah mencapai Rp 20.000 triliun. Jumlah tersebut sudah melampaui titik maksimal seperti dicantumkan dalam UU No. 17 tahun 2003.
Berdasarkan UU tersebut, utang yang bisa dilakukan pemerintah, rasionya antara utang berbanding pendapatan domestik bruto (PDB) maksimal 60 persen. Saat ini, jika utang BUMN dimasukkan sebagai utang negara, rasionya sudah 120 persen.
Salah satu utang yang membebani negara adalah untuk pembangunan IKN, yang jumlah totalnya, nanti mencapai 600 triliun. Semula, Presiden Jokowi berharap pembangunan IKN berasal dari swasta dalam bentuk investasi. Tapi sampai sekarang, sampai perayaan 17 Agustus 2024, belum ada satu investor pun yang masuk ke IKN. Ini artinya pemerintah untuk tahap awal harus mengeluarkan biaya pembangunan IKN dari APBN. Itu artinya, pemerintah harus memakai uang pajak rakyat dan utang untuk mewujudkan IKN.
Yang jadi persoalan, apakah pembangunan IKN akan mendukung pembangunan hukum? Jika ya, rasanya pembangunan IKN akan menjadi "pencerah" bagi pemerintahan yang akan datang, paska Jokowi. Tapi jika tidak, pembangunan IKN akan sia-sia.
Idealnya pembangunan IKN linier dengan pembangunan hukum di Indonesia. Sebab, istana negara di ibu kota lama, Jakarta -- pinjam Istilah Presiden Jokowi -- masih berbau kolonial.
Betul, kedua istana yang ada di Indonesia -- Istana Merdeka Jakarta dan Istana Bogor -- dibangun pemerintah kolonial. Tapi tidak dengan IKN. Ia dibangun pemerintah Indonesia sendiri. Menurut bayangan Presiden, IKN tidak berbau kolonial.
Konsekuensi dari istana yang tidak berbau kolonial, mestinya, produk-produk kebijakan eksekutif yang dihasilkannya juga tidak berbau kolonial. Artinya, produk-produk kebijakan IKN, nantinya "berbau rakyat". Berbau rakyat dengan tanda petik di sini, maksudnya kebijakan eksekutif yang disetujui legislatif, seharusnya pro-rakyat. Rakyat bisa mencium produk kebijakan eksekutif dengan hati gembira. Karena aspirasinya terwakili.
Baca Juga: Semua Warga Negara Sama di Mata Hukum, Jawaban Jokowi Soal Dugaan Gratifikasi Jet Pribadi Kaesang
Tapi apa yang terjadi di era pemerintahan Jokowi dalam satu dekade? Banyak kebijakan eksekutif justru "bersifat kolonial". Maksudnya, kebijakan tersebut tidak pro-rakyat. Bahkan cenderung merugikan rakyat.
Salah satu produk kebijakan eksekutif yang paling merisaukan rakyat adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pembentukan Omnibus law (UU Cipta Kerja). Kedua UU tersebut, di lapangan benar-benar telah membuat hukum tidak berpihak kepada rakyat. KPK lumpuh. Sedangkan Omnibus Law melemahkan buruh.
KPK, misalnya. Sebelum direvisi oleh Istana dan Senayan dengan UU Nomor 30 Tahun 2022 -- kinerjanya bagus sekali. Sebagai produk reformasi, KPK dulu pernah jadi andalan pemerintah dan rakyat untuk menangkap para koruptor yang merajalela di Indonesia. Keluarga presiden SBY pun yang nota bene besannya, karena terbukti melakukan korupsi dijebloskan ke penjara. Sekarang? Kasus serupa tidak akan mungkin terjadi di zaman Jokowi.
Kenapa? KPK setelah direvisi melalui UU Nomor 20 Tahun 2022, berada di bawah payung eksekutif. Di zaman dulu -- era Megawati dan SBY -- KPK indipenden. Tidak di bawah eksekutif.
Jadinya, kalau mau menangkap maling uang negara, tidak perlu mendapat persetujuan istana. Sekarang situasinya berbeda. Kasus izin usaha pertambangan nikel yang dimiliki putri Jokowi, Kahiyang Ayu dan suaminya Boby Nasution, walikota Medan, yang muncul dalam persidangan kasus mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK), misalnya sampai saat ini "dibiarkan" tanpa kelanjutan.
Padahal kasus nikel "Blok Medan" sudah disebut-sebut merupakan bagian dari dakwaan korupsi yang dilakukan AGK. Ini satu contoh. Contoh korupsi lain, yang melibatkan Jokowi dan keluarganya, kalau dikorek cukup banyak.
Berikutnya soal Omnibus Law. UU Cipta Kerja ini, saat pembentukannya di DPR mendapat reaksi keras dari kaum buruh. Omnibus Law berdampak langsung dan merugikan kaum buruh.
Omnibus Law ini, kini sudah berjalan, sejak disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023. Ternyata, dampaknya sangat merugikan kaum buruh.
Kedudukan kaum buruh di UU tersebut sangat lemah sehingga sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa pesangon jika dianggap merugikan perusahaan. Di sini, merugikan perusahaan interpretasinya tergantung dari majikan buruh. Suara buruh terabaikan.
Hersubeno Arief di podcast FNN Forum News Network menyindir UU Cipta Kerja sebagai UU Kerja Paksa. Dalam sistem kerja paksa, buruh tidak punya bargaining power. Buruh dalam UU Cipta Kerja posisinya seperti berada dalam sistem kerja paksa di zaman kolonial Belanda.
Tak hanya itu. Omnibus Law juga merusak lingkungan dan keamanan tanah adat. Konflik antara rakyat dan investor tambang di Halmahera, misalnya, muncul akibat penerapan Omnibus Law. Ironisnya, pemerintah selalu mendukung investor. Suara rakyat pun tidak didengarkan. Film pendek Bloody Nickel yang dibuat LSM Jatam dan Greenpeace menggambarkan penderitaan rakyat di lokasi pertambangan nikel di Maluku. Sangat mengenaskan posisi rakyat dalam wilayah pertambangan nikel.
Itulah dampak dari kebijakan pemerintah yang membonsai demokrasi. Ternyata hukum tanpa demokrasi akan melahirkan anarki. Itu terlihat di wilayah pertambangan nikel.
Sebetulnya tak hanya KPK dan Omnibus Law yang proses revisi dan pembentukannya tidak berlangsung secara demokratis. Tapi juga keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sepanjang tahun 2023 dan 2024, terutama yang terkait dengan Pemilu/Pilpres/Pilkada dirasakan tidak demokratis. Akibatnya, tak sedikit keputusan lembaga tinggi hukum itu yang mencederai keadilan.
Dari gambaran tersebut, terlihat -- pinjam Prof. Dr. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Menko Polhukam -- usia kemerdekaan Indonesia yang sudah 79 tahun, ternyata belum menghasilkan produk hukum yang menjunjung sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menyedihkan. Usia kemerdekaan RI sudah nyaris 10 windu tapi hukum berjalan di tempat. Bahkan makin mundur.
Penulis : Dr. Abdul Aziz, M.Ag. / Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta