Politik agraria pemerintahan Jokowi ditujukan pada strategi akselerasi bagi kepentingan modal besar dalam mempermudah akses terhadap tanah di Indonesia. Secara prinsip, orientasi kebijakan ekonomi politik pemerintah tidak ubahnya seperti mengembalikan hukum Agrarische Wet 1870 dengan semangat neoliberal.
Sebelumnya usaha perkebunan merupakan staatbedrif atau perusahaan negara, namun setelah tahun 1870 usaha perkebunan menjadi milik swasta. Bahkan setelah memperoleh dukungan bank-bank komersial di Belanda (sejak 1850), kapitalis Belanda melakukan penetrasi dengan berinvestasi dalam pembangunan rel dan jalur kereta api, pertambangan, perbankan dan perkebunan di Hindia Belanda.
Agrarische Wet 1870 berfungsi sebagai prasyarat legal bagi komodifikasi tanah dan tenaga kerja di negeri jajahan. Berdasarkan aturan perundangan tersebut, pemerintah kolonial menerbitkan sertifikasi hak milik untuk melegalkan praktik-praktik perampasan.
Berdasarkan data historis dan kondisi faktual, petani dan pertanian Indonesia belum memasuki transisi agraria secara adil dan menyeluruh. Industrialisasi telah dimulai kendati gagal, namun reforma agraria sebagai landasan memakmurkan semesta belum pernah dilakukan secara tuntas yang seharusnya telah berlangsung sebelum industrialisasi.
Baca Juga: Asal Mula 24 September sebagai Hari Tani Nasional
Sejak Orde Baru hingga sekarang, atau sebelumnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kebijakan agraria lebih memprioritaskan pada upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi penanaman modal (investasi). Berbagai kebijakan yang dibentuk sejak periode deregulasi kebijakan pertanahan, sekitar tahun 1980-an, hanya difokuskan untuk memfasilitasi kepentingan pemilik modal, baik asing maupun domestik.
Berbagai upaya deregulasi dan jaminan kepastian hukum disusun untuk merangsang tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga bisa menarik investor menanamkan modal dan dapat dengan cepat memperoleh tanah di Indonesia.
Kebijakan reforma agraria yang sedang diselenggarakan, harus dikatakan sebagai reform agraria semu (quasi agrarian reform), atau reforma agraria gadungan (pseudo-agrarian reform), yaitu kebijakan yang seolah-olah melakukan reforma agraria, tetapi hakikatnya bukan agrarian reform. Kebijakan agraria Indonesia saat sekarang dapat disebut sebagai pendomplengan terhadap terminologi agrarian reform.
Reforma Agraria Perhutanan Sosial (RAPS), menjadi instrumen pembaruan jalan kapitalisme liberalisme yang pernah dipaksakan oleh pemerintah kolonial Belanda, dihidupkan Orde Baru, dilempangkan oleh SBY, dan dikuatkan oleh jalan peta agraria Nawacita, dan mewariskan krisis akut sosial-ekologis.
Perjuangan mewujudkan reforma agraria sejati seharusnya berada di tangan rakyat yang sungguh-sungguh berupaya mendongkraknya (agrarian reform by leverage). Dibutuhkan kader-kader penggerak reforma agraria berbasis organisasi-organisasi tani lokal, terutama para petani gurem dan buruh tani tak bertanah dan scholar-activist dalam memperjuangkan terwujudnya reforma agraria sejati di Indonesia.
Karena itu menjadi tugas dan tanggung-jawab semua untuk membenahinya sebagai wujud beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ihsan kepada manusia dan alam semesta. Siapa bersedia? Wallahu a’lam.
Penulis : Dr. H. Yana Fajar FY. Basori, S. Ag., M. Si.