Dalam buku "Pak AR Sang Penyejuk" -- Syaefudin Simon, sang penulis punya cerita yang menarik.
Suatu ketika, Pak AR - Abdul Rozaq Fachrudin, Ketua PP Muhammadiyah (1968 --1990) - mendapat kiriman uang dari orang kaya di Jakarta. Nilainya puluhan juta rupiah. Jumlah tersebut, saat itu, sangat besar. Apalagi bagi Pak AR - pensiunan pegawai negeri - yang hidupnya sangat sederhana.
Setelah uang itu ditaruh di meja, Pak AR memanggil putra bungsunya, Fauzi, yang masih kuliah di Fakultas Kedokteran UGM. Pak AR minta putranya itu memasukkan uang tersebut ke dalam sejumlah amplop. Di amplop sudah tertulis nama penerima uang - seperti Yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, sekolah Muhammadiyah, dan lain-lain - berikut jumlahnya.
Uang itu habis dimasukkan amplop tadi. Tak tersisa. Fauzi yang memasukkan uang ke amplop ngedumel: 'Pak, kok habis uangnya, gak ada sisa?".
"La, ini uang orang. Ia memberikan uang itu kepada saya karena saya pimpinan Muhammadiyah. Kalau bukan, tidak mungkinlah orang kaya itu memberi uang ini ke saya," ujar Pak AR kepada putranya.
"Talang kok ora teles," ujar Fauzi nyindir ayahnya. Pak AR pun nyletek, " Yo ben. Iki talang plastik."
Fauzi mengumpamakan ayahnya yang sering menerima uang titipan untuk Muhammadiyah sebagai talang air. Talang air berfungsi mengalirkan air hujan ke tanah.
Dalam pikiran Fauzi - mungkin sebagian besar kita - dari sekian puluh juta uang itu, wajarlah kalau "netes" ke keluarga Pak AR. Namanya juga mediator. Seperti lembaga-lembaga amal yang menerima donasi dari perorangan atau perusahaan, biasanya mencuil sekian persen dari donasi itu. Untuk perawatan kantor, administrasi, dan gaji karyawan. Pemberi donasi pun memakluminya.
Pak AR tidak. Beliau memberikan penjelasan kepada anaknya, bahwa uang yang diberikan tersebut karena orang kaya itu tahu Pak AR pimpinan Muhammadiyah. Kalau bukan, tak mungkinlah pengusaha tajir itu memberi uang ke beliau.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Mendidik Generasi: Inspirasi dari Maulid Nabi Muhammad SAW
Kenapa uang itu tidak diberikan melalui lembaga atau orang lain? Karena Pak AR dikenal tokoh yang amanah dan sederhana. Bila uang itu diberikan melalui Pak AR, sang donatur yakin bantuannya akan sampai kepada pihak yang membutuhkan. Semuanya. Tak berkurang sesen pun.
Itulah sebabnya, saat Pak AR menjadi pimpinan Muhammadiyah, banyak bantuan dari perusahaan, pejabat negara, dan orang kaya melalui beliau. Pak AR tidak minta. Tapi mereka dengan senang hati membantu umat melalui sang dai yang rajin berdakwah ke wong cilik di kampung-kampung itu.
Yang membantu pun senang karena Pak AR memberikan laporan bahwa uang itu sudah dibagi-bagikan kepada yang berhak. Tuntas. Sesuai harapan sang donatur. Bukti pemanfaatan donasinya bisa dilihat dengan kasat mata.
Perumpamaan Fauzi bahwa ayahnya seperti talang air tapi talangnya ora teles (tidak basah), benar sekali. Itu sesuai dengan prinsip Muhammadiyah (hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah). Dan Pak AR menjalaninya dengan sepenuh hati. Seratus persen blas!
Kembali ke leptop. Netizen Indonesia hari-hari ini masih ramai mempersoalkan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang pergi ke Amerika naik pesawat private jet (PJ). Publik bertanya, kasus PJ itu masuk gratifikasi atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa mengambil dialog Fauzi dan Pak AR dari cerita Syaefudin Simon di atas.
Kata Pak AR, mungkinkah orang kaya itu memberikan uang kepada Pak AR jika beliau bukan pimpinan Muhammadiyah?
Jawabnya, lihat cara Pak AR mendidik putranya. Fauzi, anak Pak AR, tidak diberi peluang sedikit pun untuk mendapat bagian dari uang itu. Meski yang menerima donasi adalah ayahnya. Uang bantuan itu full untuk membantu orang miskin, yatim piatu, sekolah yang kekurangan dana, dan pihak-pihak tertentu yang berhak. Muhammadiyah adalah lembaga Islam yang membangun sekolah di berbagai wilayah terpencil yang belum tersentuh fasilitas pendidikan dari negara.
Masuk lagi ke kasus PJ. Logikanya, mungkinkah Kaesang Pangarep mendapat "tebengan" PJ jika bukan anak presiden? Jelas, big no!
Mengambil diksi istilah Pak AR, berarti talang rumah Pak Jokowi bukan dari plastik. Terbukti talangnya basah di mana-mana. Di PJ, di tambang nikel Blok Medan, di saham Persis Solo, dan lain-lain.
Gambaran tersebut tak perlu dibuktikan dengan argumen hukum dan logika ngoyoworo. Karena sudah jelas, cetho welo-welo.
Jadi jelas, talang rumah "Pak Mulyono" bukan terbuat dari plastik. Tapi dari busa. Air hujan terserap dulu di busa sebelum jatuh ke tanah.
Begitulah cerita Syaefudin Simon, yang pernah ngekos di rumah Pak AR di Yogya. Jelas 'kan?
Soal hukum fikihnya, haram atau tidak, tanyakan ke hati nurani, logika, dan etika kita masing-masing. Hati nurani, logika, dan etika adalah basis hukum fikih yang sempurna.
Penulis : Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta.