SUKABUMIUPDATE.com - Perjuangan Dewi Sartika patut di acungi jempol mengingat bagaimana gigihnya beliau menjadi pelopor perempuan di dunia pendidikan.
Berkat Raden Dewi Sartika, kini banyak perempuan Indonesia prestatif yang turut melanjutkan perjuangannya di bidang pendidikan, salah satunya Maudy Ayunda.
Lupakan dulu soal Maudy Ayunda, hari ini 19 Desember diperingati sebagai Hari Bela Negara.
Kali ini muda-mudi Indonesia tidak harus berperang sebagai wujud bela negara, namun salah satunya dengan mengingat Kiprah Dewi Sartika, Perjuangan Tokoh Pelopor Pendidikan Perempuan Jawa Barat, dikutip dari budaya.jogjaprov.go.id.
Sebelumnya seperti yang diketahui updaters, Sukabumi sendiri memiliki nama jalan Khusus bernama Jalan Dewi Sartika, tepatnya di daerah Dago Kota Sukabumi wilayah Kecamatan Cikole.
Baca Juga: PKL Dago akan Dipindahkan ke Jalan Dewi Sartika Sukabumi, Ini Alasan Diskumindag
Biografi Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Cicalengka, Jawa Barat. Ia adalah puteri kedua dari Raden Somanagara dan ibu Raden Ayu Rajapermas.
Pada saat itu ayahnya yaitu Raden Rangga Somanagara merupakan Patih Afdeling Mangunreja yang wilayahnya terletak di Kabupaten Tasikmalaya. Sementara Raden Ayu Rajapermas, sang ibu merupakan putri dari Bupati Bandung R.A.A.
Pada tahun 1908, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduran Agah Suriawinata, guru sekolah Karang Pamulang, ketika usianya 22 tahun.
Kisah Permulaan Dewi Sartika di Bidang Pendidikan
Dewi Sartika menempuh Pendidikan di Cicalengka, Jawa Barat dan termasuk murid yang cerdas. Usai sekolah Dewi Sartika biasanya mengajak beberapa orang gadis anak pelayan dan pegawai rendahan pamannya untuk bermain “sekolah-sekolahan”.
Meski tidak mendapat dukungan dari ibunya, namun Dewi berbeda dengan sang kakek, R.A.A. Martanegara yang kala itu adalah Bupati Bandung serta sokongan dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran.
Hasilnya, sebuah sekolah bernama “Sekolah Isteri” dibuka pada tanggal 16 Januari 1904, seperti cita-cita Dewi Sartika meski masih jauh dari kata 'sempurna'.
Baca Juga: Lahir Bulan Desember, Profil Lengkap Pahlawan Jawa Barat Dewi Sartika
Perjuangan Dewi Sartika merintis "Sekolah Isteri"
Tahun 1910 “Sekolah Isteri” berubah nama menjadi “Sekolah Keutamaan Isteri”.
Seiring hal tersebut, kurikulum diperbarui dengan biaya yang meningkat pula. Mata pelajaran yang ditambah yaitu memasak, menyetrika, mencuci dan membatik.
Permasalahan biaya nyatanya mendapat bantuan dari pemerintah dengan memberi subsidi kepada “Sekolah Keutamaan Isteri”.
Pada tahun 1911 “Sekolah Keutamaan Isteri” diperluas sehingga terbagi menjadi dua, yaitu bagian pertama, menggunakan Bahasa Sunda sebagai Bahasa pengantarnya, sedangkan bagian kedua Bahasa pengantarnya ialah Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu (baca : Indonesia).
Kegiatan yang dilakukan Dewi Sartika itu ternyata menarik perhatian wanita di tempat lain di Jawa Barat hingga Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dewi Sartika dilanda petaka dengan pecahnya Perang Dunia I (28 Juli 1914–11 November 1918) yang membuatnya kesulitan karena harga keperluan sekolah naik.
Singkat cerita, “Sekolah Raden Dewi” sudah diakui pemerintah dan dihargai oleh masyarakat.
Gedung baru sekolah menjadi tantangan peningkatan mutu pendidikan sehingga mata pelajaran “perawatan orang sakit” masuk ke dalam kurikulum. Kala itu, Zuster van Arkel adalah pengampu mata pelajaran tersebut.
Pada 11 Juli 1939, diadakan perayaan ke-35 tahun Sekolah Dewi Sartika, termasuk hadir para pejabat pemerintah diantaranya bupati Bandung, nyinya residen, Prof. Boostra, pejabat walikota dan lain-lain.
Baca Juga: Ada KH Ahmad Sanusi, Jokowi Resmi Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional untuk 5 Tokoh
Cobaan kembali menghampiri Dewi Sartika ketika Raden Agah, sang suami meninggal dunia, genap di tahun yang sama dengan perayaan Sekolah ke-35 yaitu, 25 Juli 1939.
Pada tahun 1940, Hati Dewi Sartika sedikit terhibur ketika pemerintah memberikan lagi penghargaan kepadanya atas jasa dibidang Pendidikan.
Namun, kisah malang tak henti-hentinya datang ketika Perang Dunia II Meletus dan “Sekolah Raden Dewi” mengalami banyak kekurangan, baik biaya maupun peralatan.
Setelah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keadaan “Sekolah Raden Dewi” menghadapi kesulitan besar, terutama saat pasukan Inggris dan Belanda hadir di kota Bandung.
Raden Dewi Sartika akhirnya mengungsi ke Ciparay kemudian ke Garut dan terakhir pindah ke ciamis. Akhirnya, Dewi Sartika lagi-lagi terpaksa meninggalkan sekolah yang ia bangun karena situasi semakin genting di tahun 1947.
Baca Juga: KH Ahmad Sanusi Pahlawan Nasional, Ketua DPRD Sukabumi: Anak Muda Melanjutkan
Dewi Sartika Tutup Usia pada Tahun 1947
Saat berusia 63 tahun, terjadi agresi militer Belanda yang membuat Dewi Sartika harus berpindah-pindah dan mengungsi serta terpaksa meninggalkan sekolah yang ia bangun.
Kondisi makanan dan obat-obatan serba kurang, ditambah lagi kesehatan Dewi Sartika kian menurun sehingga ia jatuh sakit ketika di Cineam, Tasikmalaya.
Penanganan diberikan seoptimal mungkin oleh dr. Sanitioso di rumah sakit, namun nyawa Dewi Sartika tetap tidak tertolong.
Tepat pukul 09.00 tertanggal 11 September 1947, Dewi Sartika tutup usia dan jenazahnya dikebumikan di Cineam sebelum dipindahkan ke makam keluarganya di Bandung.
Sumber : budaya.jogjaprov.go.id