Oleh: Ummu llmira
Acara pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) telah berlangsung di Nusa Dua Bali, diikuti oleh 20.000 lebih partisipan yang berasal dari 189 negara di dunia. Acara yang digelar dari tanggal 8-14 Oktober 2018 merupakan pertemuan terbesar dunia dalam bidang ekonomi dan keuangan, yang menghadirkan Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan dari 189 negara anggota serta sektor privat, akademisi, NGO dan media.
Pertemuan tersebut akan mendiskusikan perkembangan ekonomi dan keuangan global serta isu-isu terkini, antara lain: a). Pengurangan kemiskinan; b). Pembangunan ekonomi internasional; dan c). Isu-isu global lainnya.
Pertemuan ini dilaksanakan di tengah duka Lombok dan Palu-Donggala, saat ini pemerintah tidak menetapkan kedua bencana ini sebagai bencana nasional. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, kegiatan Internasional Monetary Fund (IMF)-Word Bank (WB) di Nusa Dua Bali, 8 hingga 14 Oktober 2018, sama sekali tidak terkait dengan dana bencana baik di Lombok maupun Palu dan Donggala.
Pernyataan itu mereka sampaikan saat mengunjungi korban gempa di Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, Senin (8/10/2018). Sri Mulyani juga meminta agar pihak tertentu tidak mengaduk-aduk perasaan masyarakat yang tengah dilanda bencana dengan pernyataan provokatif.
Bagi Pemerintah, pertemuan IMF-WB Tahun 2018 kali ini menjadi penting dan spesial karena akan dilaksanakan di Bali dan karena keseluruhan fokus program IMF-WB saat ini relevan dengan program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, utamanya pembangunan Infrastruktur yang pada sisi lain juga merupakan program pelayanan pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi kepentingan eksport Negara-negara kapitalis.
Selain itu, pentingnya Indonesia sebagai Tuan Rumah karena Indonesia merupakan salah satu dari 9 (Sembilan) negara percontohan (diantaranya Kamerun Cote Davoire, Mesir, Indonesia, Irak, Jordania, Kenya, Nepal, dan Vietnam) yang fokus melaksanakan skema Bank Dunia dalam mengatasi krisis yakni proyek infrastruktur. Seluruh negara ini menjadi wilayah target eksport kapital milik imperialis (melalui utang dana investasi) melalui pilot Maximizing Finance for Development (MFD) atau Maksimalisasi Keuangan untuk Pembangunan. Di empat Negara (termasuk Indoonesia), kerja pilot MFD akan membangun pada kerja yang sedang berjalan untuk mengembangkan pasar modal di bawah program World Bank Group (WBG).
Secara khusus, Bali dipilih sebagai tempat pertemuan ini karena merupakan tempat yang dinilai paling aman dan terbukti sukses menjadi tempat penyelenggaraan berbagai pertemuan internasional di Indonesia. Karenanya, atas seluruh kepentingan tersebut, maka untuk penyelenggaraan acara ini, pemerintah menyediakan anggaran ratusan miliar rupiah, baik untuk pembangunan infrastruktur fasilitas pertemuan, rapat-rapat, keamanan dan berbagai kebutuhan persiapan dan pelaksanaan acara lainnya. Anggaran yang disediakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sekitar Rp 810 miliar. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan pengamanan tingkat tinggi agar pelaksanaan acara tersebut dapat berjalan lancar.
Itulah alasan mengapa pemerintah sangat antusias Indonesia menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan IMF-WB. Namun seakan tidak tahu ataukah sengaja bahwa AS dan lembaga-lembaga keuangan dunia merupakan alat penjajahan negara penganut Kapitalisme untuk mengimplementasikan penjajahan terhadap negara-negara lain termasuk Indonesia.
Indonesia sejak di bawah kekuasaan Jenderal Soeharto pada tahun 1967 sudah berhadapan dengan kebijakan pengaturan Bank Dunia dan IMF yang saat itu sedang melaksanakan kebijakan eksport kapital ke berbagai negeri. Dampaknya, perusahaan monopoli pertambangan raksasa berdatangan dan mengikat kontrak jangka panjang dengan Soeharto, diantaranya: Freeport Mc Moran, Chevron, Caltex, Unocal, Exxon mobile, Stanvac.
Beberapa negara imperialis lain ambil bagian dengan proyek infrastruktur dan berbagai industri rakitan otomotif di Indonesia sejak tahun 1970-an awal. Dan perusahaan-perusahaan raksasa tersebut tidak bisa dihentikan operasinya hingga saat ini.
Pada tahun 1969 Indonesia secara resmi menjadi anggota Bank Dunia, IMF, serta Asian Development Bank (ADB). Dengan sokongan kapital pertama dalam bentuk utang $325 juta US, imperialisme AS mengontrol Indonesia secara ekonomi dan hanya dibatasi sebagai negeri penghasil bahan mentah untuk ekspor, sementara kebutuhan dalam negeri diatur oleh impor. Selain melalui IMF dan Bank Dunia, AS juga membentuk persekutuan kapital untuk Indonesia dengan negara imperialis lainnya, yaitu Inter-Governmental Group of Indonesia (IGGI) bersama dengan Kerajaan Belanda pada tahun 1967.
IMF sendiri pada tahun 1967 telah memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar $51 juta, dan pada tahun yang sama IGGI memberikan utang sebesar $200 juta. Pada tahun 1968 mereka kembali memberikan utang baru sebesar $325, sebagian besar digunakan untuk stabilitas. Berikutnya, AS juga membuat Consultative Group of Indonesia (CGI) dan Paris Club dengan tujuan yang sama untuk mendukung skema ekonominya di Indonesia.
Bank Dunia dan ADB adalah ujung tombak utama dari operasi kapital imperialis AS di Indonesia selain IMF dan Bank-bank milik imperialis lainnya serta perusahaan tambang besarnya di Indonesia. Mereka secara bersama-sama mengeruk keuntungan sumber daya alam Indonesia dan tenaga kerja murah. Perkebunan besar, pertambangan, perdagangan besar dan pabrik olahan adalah bidang-bidang dimana imperialis menanamkan modalnya dalam jumlah besar. Sementara kapital besar lainnya masuk dalam bentuk utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan perkantoran.
Sebagaimana kita ketahui bahwa IMF dan Bank Dunia akan terus berkuasa dengan utang atau bantuan yang diberikannya atas negara dan bangsa. Utang dan bantuan mereka berarti politik dan juga dominasi militer imperialis Amerika Serikat. Utang menjadi instrumen untuk memaksa negara membuat regulasi yang merugikan dan mencelakakan rakyat. Utang menjadi instrumen untuk memobilisasi kekuatan militer. Di bawah IMF dan Bank Dunia Indonesia tidak akan pernah menjadi negeri yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara kebudayaan.
Untuk itu hendaknya masyarakat peka terhadap semua agenda penjajahan yang dibalut oleh bantuan utang luar negeri. Perlu ada kesadaran secara kolektif di tengah masyarakat agar Indonesia tidak semakin terpuruk dan terjerumus ke dalam jeratan utang yang semakin dalam serta tidak ikut-ikutan dalam menyikapi setiap kebijakan AS dan lemba-lembaga keuangan dunia lainnya.
Wallahualam bishshawab