SUKABUMIUPDTE.com - Empat petani penggarap di Desa Kalapanunggal, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, dilaporkan oleh pemegang izin Hak Guna Pakai (HGP) PT Salak Utama ke Polres Sukabumi. Hari ini Senin (25/11/219), dua dari empat petani penggarap datang untuk dimintai keterangan oleh unit reskrim Polres Sukabumi.
Para petani ini dimintai klarifikasi atas laporan tindak pidana penyerobotan atau larangan pemakaian lahan tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Aksi ini terjadi pada kamis 29 Juni 2019 silam di lahan HGP yang dipegang PT SALAK UTAMA. Lokasinya berada di Kampung Dam RT 18/7 Desa/Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi.
Dua petani yang diperiksa hari ini adalah Dadun dan Juarna, sementara Ade Kursina dan Ahmad Hidayat rencananya akan dimintai keterangan besok (Selasa, 25/11/2019). Dalam surat pemanggilan tersebut dicantumkan bahwa mereka (para petani) diduga melanggar pasal 385 KUHPidana atau Pasal 2 jo pasal 6 ayat 6 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian lahan tanpa izin yang berhak atau kuasa yang syah.
Dadun (58 tahun) salah mulai diperiksa pukul 09.30 dan berakhir sekitar pukul 12.30 WIB. Ia dicecar kurang lebih 20 pertanyaan oleh penyidik.
"Sekitar kurang lebih 20 pertanyaan yang dilontarkan penyidik. Pertanyaannya seputar lahan yang digaraf dan yang lainnya, kronologis penggarapan lahan itu," katanya singkat kepada wartawan usai keluar dari ruang penyidik Polres Sukabumi, Senin (25/11/2019).
Sementara itu, Ketua DPC SPI Sukabumi Rozak Daud yang ikut mendampingi para petani yang dilaporkan oleh PT Salak Utama ini menuturkan konflik agraria masih membayangi petani di Kabupaten Sukabumi karena belum adanya kepastian hak atas tanah. Untuk itu dirinya meminta pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dan membuat kebijakan yang menjamin hak petani atas lahan pertanian.
"Munculnya konflik agraria umumnya karena banyak petani yang menggarap lahan secara turun-temurun atau lahan timbul, tetapi kemudian lahan itu diambil alih karena tidak bersertifikat. Konflik ini dapat berujung pada kriminalisasi petani," ungkap Rozak.
"Banyak petani yang terkendala soal tanah sehingga akhirnya menjadi buruh tani. Selama ini, konflik terjadi karena kepemilikan tanah sering kali didominasi perkebunan swasta dan negara," sambungnya.
Menurut Rozak pemanggilan petani penggarap Hak Guna Pakai PT. Salak Utama Kalapanunggal hari ini adalah buntut dari ketidakberpihakan pemerintah pada petani. Walaupun sifatnya biasa untuk klarifikasi tetapi bagi petani rakyat jelata pelaporan ini berdampak serius bagi mental mereka yang hanya ingin bercocok tanam demi menghidupi keluarga.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 51/1960 yang digunakan untuk menjerat para petani penggaran ini menurut Rojak kontroversial dan sudah tidak relevan. Diberlakukan ketika berdekatan dengan era nasionalisasi aset asing oleh pemerintah dan peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah di berbagai daerah.
Selain itu, UU ini juga sangat tidak relevan digunakan saat ini di tengah semangat pemerintah untuk menyelasaikan konflik-konflik agraria dan menghentikan krimalisasi perjuangan petani sebagai upaya mempercepat pelaksanaan reforma agraria.
“Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas terhadap pihak-pihak yang menghambat percepatan pelaksanaan reforma agraria. Sehingga ke depan tidak ada lagi kriminalisasi yang ditujukan kepada petani sebagai soko guru bangsa Indonesia," tandasnya.
BACA JUGA: Hari Pangan Sedunia, DPC SPI Dorong Reforma Agraria di Sukabumi
Sementara itu, diungkapkan Kapolres Sukabumi melalui Kasat Reskrim, Akp Firman Taufik membenarkan adanya pemeriksaan terhadap penggarap di Desa Kalapanunggal, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi namun hal tersebut sebagai undangan klarifikasi.
"Itu hanya undangan klarifikasi dalam rangka penyelidikan, kita memanggil pihak pihak yang terkait untuk diklarifikasi sesuai laporan yang kami terima," singkatnya.