SUKABUMIUPDATE.com - Organisasi Perempuan Mahardhika Sukabumi melakukan aksi demonstrasi di Pasar Minggu, Kampung Nangklak, Desa Tenjoayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Minggu, (24/9/2023).
Aksi tersebut dilakukan dalam rangka memperingati 19 tahun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) di Indonesia.
Dalam orasinya, para demonstran menyampaikan beberapa tuntutan, diantaranya; Meminta pemerintah bertanggung jawab atas berbagai tindak kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan;
Baca Juga: Kompak Turun, Bupati Wabup Sekda Monitoring Pastikan Pilkades Sukabumi Kondusif
Mereka juga menyuarakan perlunya campur tangan pemerintah dalam penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap buruh perempuan dan mengawasi penerapan UU PKDRT; Mendesak pencabutan Permenaker No.5 Tahun 2023 yang dianggap melanggar UU Cipta Kerja, Pasal 88A Ayat 4, yang melarang pembayaran upah pekerja/buruh di bawah ketentuan pengupahan yang berlaku.
Berikutnya, para demonstran juga meminta perlindungan lebih baik bagi buruh perempuan di lingkungan kerja dengan menerapkan Keputusan Menaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, serta wajib bagi perusahaan memiliki Satuan Tugas Kekerasan Seksual, Menyoroti hubungan antara eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja dengan meningkatnya kasus KDRT pada buruh perempuan; Menyuarakan pentingnya penerapan jam kerja sesuai dengan undang-undang dan pembayaran upah lembur kepada buruh perempuan.
Baca Juga: Update Perolehan Suara Pilkades Serentak Wilayah VI Sukabumi, Ini Kades Terpilih
Koordinator Departemen Advokasi Perempuan Mahardhika Sukabumi, Surya Dwi Shanty, menyampaikan bahwa UU PKDRT yang diberlakukan sejak 22 September 2004 bertujuan untuk mencegah KDRT dan memberikan perlindungan hukum dan sosial kepada korban. Namun, setelah 19 tahun berlalu, angka kasus KDRT terus meningkat, dan penanganan KDRT oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sering kali mengalami kendala.
"Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menunjukkan bahwa hingga tahun 2022, sebanyak 25.050 perempuan, termasuk buruh perempuan, menjadi korban kekerasan," ujarnya.
Para peneliti dari Perempuan Mahardhika menemukan keterkaitan antara KDRT dan penindasan eksploitasi terhadap tubuh perempuan di tempat kerja. Buruh perempuan seringkali menghadapi jam kerja panjang, tekanan target produksi, dan kekerasan verbal serta intimidasi di tempat kerja.
Baca Juga: 10 Ciri Kamu Berada di Hubungan yang Tidak Bahagia dan Terancam Berakhir
"Situasi ini berdampak pada kehidupan pribadi buruh perempuan, termasuk meningkatnya kasus KDRT di rumah tangga. Perusahaan juga dideskripsikan sebagai pihak yang memanfaatkan pasar kerja fleksibel untuk memaksakan target produksi tinggi kepada buruh perempuan tanpa kompensasi yang adil," ujarnya.
Terkait peraturan pemerintah, Shanty mengatakan, Permenaker No. 5 tahun 2023 menjadi sorotan karena dianggap merugikan buruh perempuan dengan pemotongan upah hingga 25%.
"Hal ini potensial meningkatkan kasus KDRT akibat tekanan ekonomi. Dalam situasi ini, pemerintah dianggap tidak cukup melindungi keamanan dan kesejahteraan warganya, serta belum memadai dalam menegakkan UU PKDRT," tandasnya.