SUKABUMIUPDATE.com - Komedian Bintang Emon ditengarai mendapat serangan balik melalui media sosial setelah mengunggah video yang membahas rendahnya tuntutan terhadap terdakwa penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan yang hanya dituntut satu tahun penjara.
Bintang mengunggah video di akun Instagramnya pada tiga hari lalu. Di Twitter, mulai Ahad malam kemarin, 14 Juni 2020, sejumlah akun menyebarkan narasi bahwa Bintang Emon pengguna narkoba.
Tempo berusaha menghubungi stand up comedian itu melalui pesan di akun Twitter dan Instagramnya, tetapi belum ditanggapi. Namun melalui tangkapan layar Twitter yang beredar, Bintang menulis, "Ahahahay udah mulai ada yg bandel ke email kerjaan, akun kakak, akun manager."
Dalam video itu, Bintang mempertanyakan alasan jaksa menuntut satu tahun, yakni terdakwa tak sengaja menyiram muka Novel. Dia mengatakan gravitasi bumi tak memungkinkan pelaku menyiram air keras yang mengarah ke badan Novel tetapi meleset ke arah wajah.
"Kecuali Pak Novel Baswedan emang jalannya hand stand. Bisa lu protes, Pak Hakim, saya niatnya nyirem badan, tapi gara-gara dia jalannya betingkah jadi kena muka. bisa, masuk akal. Sekarang tinggal kita cek, yang kagak normal cara jalannya Pak Novel Baswedan apa hukuman buat kasusnya?" Demikian sepenggal ucapan Bintang Emon dalam video unggahannya itu.
Peneliti KontraS Rivanlee Anandar mengatakan serangan semacam ini banyak terjadi terhadap pegiat HAM dan demokrasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, model serangan menjalar menjadi intimidasi siber dengan doxxing, fitnah (defamation), atau berita bohong tentang seseorang yang sedang mengkritik negara.
Sialnya, kata dia, pola penegakan hukum kerap sebelah mata dan tak tegas sehingga peristiwa seperti penyerangan yang dialami Bintang Emon ini terus berulang. Rivanlee juga menyebut ketidaktegasan hukum menandakan adanya teror terhadap warga yang berekspresi tentang kebijakan negara.
"Peristiwa ini jelas mengancam demokrasi karena pihak yang tidak diketahui ini seolah mengambil alih peran negara untuk melakukan intimidasi verbal/nonverbal. Ketakutan yang menyebar akan menjadi teror yang melumpuhkan fungsi masyarakat," ujar Rivanlee.
Sumber: Tempo.co