SUKABUMIUPDATE.com - Dijaman sekarang banyak orang memamerkan kekayaan yang dimilikinya dengan berbagai alasan. Ditambah dengan adanya media sosial menjadikan orang lebih mudah terpancing melakukan flexing.
Perilaku memamerkan kekayaan atau kemewahan seperti itu dikenal dengan istilah flexing.
Mengutip situs SL di alamat strategylab.ca, sebenarnya perilaku pamer kekayaan agar terlihat mencolok telah disebut sejak tahun 1899 oleh Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions. Jadi, flexing hanyalah istilah modern untuk perilaku suka pamer di masa kini.
Diketahui, istilah flexing menjadi tenar tatkala kakak beradik Rae Sremmurd menciptakan lagu viral berjudul "No Flex Zone", yang berarti area untuk orang-orang santai, bersikap seperti dirinya sendiri, dan tidak pamer atau pura-pura menjadi pribadi yang berbeda.
Dapat disimpulkan, dalam bahasa gaul, orang yang berperilaku flexing dikonotasikan sebagai orang yang membohongi publik dengan pamer kekayaan, meski realitanya tidak seperti yang dipamerkan.
Banyak pula pendapat bahwa kata flexing berarti orang yang palsu, memalsukan, atau memaksakan gaya agar diterima dalam pergaulan.
Flexing juga disebut diakibatkan karena rasa percaya diri yang kurang pada seseorang.
Penelitian menemukan bahwa ketika seseorang merasa rendah diri, ia cenderung membeli barang-barang mahal atau mewah.
Dalam Brandwashed karya Martin Lindstrom, anak-anak dengan harga diri yang lebih rendah cenderung mengandalkan nama merek daripada anak-anak dengan harga diri yang lebih tinggi.
Lindstrom menyebutnya “semakin besar logo pada pakaian, semakin rendah harga diri”.
Perilaku flexing juga kerap digunakan seseorang untuk memberi sinyal kalau dirinya memiliki banyak uang.
Meski begitu, tak ada salahnya seseorang melakukan flexing di media sosial. Menurut laman Psychology Today, terkadang kepercayaan diri seseorang dapat bergantung pada hal-hal yang ia capai.
Pencapaian ini berwujud rasa bangga yang kemudian ia pamerkan atau flexing ke media sosial untuk lebih meningkatkan rasa percaya diri.
Sumber: Tempo.co/DELFI ANA HARAHAP