SUKABUMIUPDATE.com - Perkawinan anak di bawah umur masih cukup tinggi di Indonesia. Pakai ilmu keluarga dari ITB coba mengungkap penyebab hal ini.
Mengutip tempo.co, dari laman Institut Pertanian Bandung, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), Tin Herawati mengatakan ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan penyebab perkawinan anak, di antaranya yaitu:
Tekanan ekonomi
Faktor ekonomi dapat mendorong orang tua atau keluarga untuk mengawinkan anaknya di usia dini. Sebagian orang tua terobsesi untuk memperbaiki perekonomian rumah tangga dengan menjodohkan anak saat masih berusia di bawah 19 tahun dengan harapan untuk mengurangi beban pengeluaran ekonomi keluarga.
Lingkungan
Lingkungan sosial dan kondisi geografis suatu wilayah seringkali berhubungan erat dengan perkawinan anak. Di pedesaan, yang memiliki keterbatasan aksesibilitas informasi, pendidikan, dan transportasi, banyak ditemukan kasus ini.
Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi pengetahuan, informasi, edukasi, dan komunikasi terkait dampak perkawinan anak baik dari sisi orang tua maupun anak. Orang tua dengan pendidikan terbatas, cenderung memiliki pengetahuan yang rendah pula terhadap dampak perkawinan anak.
Adat dan budaya
Adat dan budaya dapat disalahartikan yang kemudian membentuk semacam stigma, nilai, dan kepercayaan dan pelabelan sosial bagi anak yang belum menikah. Sehingga, ada tekanan kepada anak perempuan dengan berbagai label seperti "perawan tua" atau "perempuan tidak laku" yang mendorong keluarga besar untuk segera mengawinkan anak mereka di usia dini.
Pengasuhan
Faktor yang mendorong kasus perkawinan anak adalah pola asuh keluarga. Pola asuh dalam keluarga erat kaitannya dengan kejiwaan anak yang dapat berdampaknya pada keputusan anak terhadap hidupnya.
Karena berbagai penyebab ini, upaya pencegahan pun harus dilakukan. Tidak hanya kepada anak, pencegahan ini juga harus dilakukan pada orang tua. Hal ini harus dilakukan karena pernikahan anak akan mengakibatkan rendahnya kualitas anak yang dilahirkan dan kesehatan ibunya, kekerasan, perceraian, putus sekolah dan kemiskinan.
SUMBER: WINDA OKTAVIA/TEMPO.CO