SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah kembali menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB mulai 11-25 Januari 2021 di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satu kebijakan yang turut diterapkan dalam PSBB akibat Pandemi Covid-19 ini adalah pembelajaran siswa dalam jaringan atau daring. Kondisi ini tentu membuat aktivitas anak akan kembali disibukkan dengan gadget mereka. Padahal sebelumnya pemerintah berencana memulai pembelajarann tatap muka di bulan ini.
Kebiasaan baru para siswa yang sering berinteraksi dengan gadget ternyata membawa dampak negatif bagi mereka. Dari hasil survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tercatat sebanyak 76,8 persen anak diizinkan menggunakan gadget oleh orang tuanya di luar jam belajar.
Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime KPAI, Margaret A Maimunah, Rabu (6/1/2021) mengatakan, angka anak yang menggunakan gadget di luar aktivitas belajar ini masih cenderung tinggi. Hal itu menjadikan para siswa rawan terpapar informasi yang salah, konten negatif, dan bahkan menjadi korban atau pelaku kejahatan siber.
Margaret menuturkan, dalam jajak pendapat yang dilakukan, pihaknya juga mendapati durasi penggunaan gadget di luar jam belajar selama 1-2 jam per hari sekira 36,5 persen, durasi 2-5 jam per hari sekira 34,8 persen, dan durasi lebih dari 5 jam per hari sekira 25,4 persen.
Penggunaan gadget tersebut rata-rata adalah milik anak sebanyak 71,3 persen. Sedangkan pemakaian gadget tanpa diikuti aturan penggunaannya dari orang tua sebanyak 79 persen. Margaret menyebut, sejumlah orang tua tidak mendampingi para siswa ketika menggunakan gawainya.
Ia memberi contoh dalam kasus parodi lagu kebangsaan Indonesia Raya, pelaku yang baru berusia 16 tahun itu ternyata lebih dulu bergabung dengan grup sosial media yang berisi ujaran kebencian. Sementara kasus lain berdasarkan hasil pengaduan KPAI, orang tua melapor soal adanya grup pornografi yang mengundang anak mereka ke dalamnya.
Oleh karena itu Margaret mengimbau para orang tua agar mengecek dan mengontrol penggunaan gadget oleh anak mereka. Ia mengajak para orang tua untuk berkomitmen ihwal aturan penggunaan gawai tersebut.
Selain mengubah kebiasaan hidup anak, ternyata pembelajaran daring telah dianggap membosankan dan sebanyak 78,17 persen pelajar ingin kembali belajar di sekolah. Hal itu berdasarkan survei lain yang dilakukan KPAI.
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti telah melakukan survei singkat soal persepsi peserta didik ihwal rencana pemerintah yang akan memulai pembelajaran tatap muka pada Januari ini. Survei ini dibuat untuk mendengarkan suara anak Indonesia.
Survei ini menggunakan aplikasi Google Form dengan cara menyebarkan kuesioner lewat aplikasi WhatsApp dan Facebook, dibantu pegiat pendidikan dan guru yang tergabung di Federasi Serikat Guru Indonesia.
Dari 62.448 responden pelajar, sebanyak 48.817 atau 78,17 persen setuju pembelajaran tatap muka kembali dilakukan pada Januari ini. Sementara sebanyak 6.241 siswa atau sekira 10 persen tidak menyetujuinya. Dan 10.078 atau sekira 16,13 persen pelajar menjawab ragu-ragu soal belajar tatap muka ini.
Siswa yang setuju pembelajaran kembali dilakukan secara tatap muka rata-rata beralasan telah jenuh dengan pembelajaran daring. Mereka juga mengaku memerlukan praktikum dan membahas materi pelajaran yang sulit diberikan secara online. Sekira 56 persen siswa yang setuju tatap muka ini berasal dari jenjang kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan kelas 12 SMA/SMK.
Sementara siswa yang tidak setuju pembelajaran tatap muka rata-rata cemas terpapar Covid-19 karena kasus yang masih tinggi. Ada pula yang tidak setuju tatap muka karena masih ragu dengan kesiapan sekolah soal penyediaan sarana dan prasarana protokol kesehatan.
KPAI mengatakan, survei singkat tersebut dilakukan dalam sepekan, sejak 11-18 Desember 2020. Dari 62.448 siswa yang mengikuti survei, 55 persen di antaranya adalah laki-laki dan 45 persen lainnya perempuan.Sedangkan jenjang pendidikan, survei ini diikuti siswa SD, SMP, SMA, SMK, SLB, dan madrasah.
Survei tersebut melingkupi 34 provinsi, dengan mayoritas siswa tinggal di Pulau Jawa. Adapun wilayah dengan peserta survei tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Ada juga siswa dari Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Jambi, NTB, Bengkulu, dan provinsi lainnya.