SUKABUMIUPDATE.com - Perempuan difabel merupakan kelompok dengan kerentanan dua kali lipat dalam masa pandemi Covid-19. Deputi Perlindungan Hak Perempuan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Venetia Danesh mengatakan kelompok ini memiliki situasi ganda, yaitu sebagai perempuan dan penyandang disabilitas.
"Stigma sebagai perempuan saja sudah menjadi penghalang bagi mereka, ditambah dengan kondisi disabilitasnya, mereka mengalami diskriminasi ganda, sub-ordinasi dan rentan menjadi korban kekerasan," ujar Venetia dalam konferensi pers virtual oleh Forum Pengada Layanan dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau HWDI, Selasa 20 Oktober 2020, dikutip dari Tempo.co.
Kekerasan sering menimpa perempuan lantaran konstrusksi gender telah menempatkan perempuan sebagai kelas kedua. Kondisi ini kian rentan pada perempuan disabilitas di masa pandemi Covid-19. "Perempuan harus menjalani fungsi domestik dan publik untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan keluarga, sehingga banyak perempuan disabilitas yang harus keluar di masa pandemi dan membuat mereka rentan terinfeksi karena peran tersebut," ujar Venetia.
Hasil survei singkat HWDI terhadap 55 responden perempuan disabilitas dengan rentang usia 15-65 tahun selama masa pandemi menunjukkan, sebanyak 80 persen mengalami kekerasan berbasis gender. Kebanyakan kekerasan yang dialami adalah diskriminasi, pelecehan seksual, dan psikis. Banyak juga perempuan disabilitas yang mengalami penipuan.
"Pelecehan seksual yang dialami perempuan disabilitas terjadi di dunia nyata maupun dunia maya," kata peneliti dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Mieke Herawati dalam forum yang sama.
Di dunia nyata, kasus pelecehan seksual kepada perempuan disabilitas berupa diraba dan disentuh tubuhnya. Sementara di dunia maya mereka diminta untuk menunjukkan alat kelaminnya atau melakukan gerakan sensual secara online.
Mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah menerbitkan panduan khusus penanganan dan pendampingan bagi perempuan disabilitas selama masa pandemi Covid-19. Panduan tersebut diterbitkan sejak Mei 2020 dan tercantum dalam situs resemi gugus tugas percepatan dan penanganan Covid-19.
Sejalan dengan panduan khusus itu, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia juga sudah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Metro Jaya dalam penanganan peristiwa hukum yang dialami perempuan disabilitas.
Mieke Herawati menambahkan, perempuan disabilitas yang mengalami kekerasan berbasis gender enggan melapor. Sekitar 68 persen perempuan disabilitas tidak melaporkan kasusnya karena ketiadaan akses, stigma, dan budaya.
"Hasil survei singkat melalui daring menunjukkan sebanyak 68 persen responden tidak melaporkan kasus kekerasan yang menimpa mereka," ujarnya.
Sangat sedikit perempuan disabilitas yang melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya selama masa pandemi Covid-19. Beberapa lembaga yang biasa menjadi tempat pelaporan perempuan disabilitas adalah organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, polisi, dan pengurus rukun tetangga/rukun warga.
Hampir 80 persen responden menyatakan mengalami kekerasan berbasis gender sesekali, 14 persen mengalami kekerasan setiap hari, dan jumlah kekerasan yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 tidak mengalami peningkatan signifikan.
"Tidak ada perubahan frekuensi kasus kekerasan sebelum dan pada masa pandemi Covid-19," ujar Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Maulani Rotinsulu.
Sumber: Tempo.co