SUKABUMIUPDATE.com - Selama di rumah saja di masa pandemi, anak-anak cenderung lebih akrab dengan game online. Banyak orang tua yang khawatir anak bermain game karena bisa membuat kecanduan sehingga mempengaruhi psikis mereka.
Dampak psikis yang terjadi pada anak akibat kecanduan game antara lain cemas, mudah tersinggung, dan konsentrasi yang menurun.
Benarkah demikian? Menurut psikolog dan tech enthusiast Olaffiqih Wibowo, hal yang membuat kecanduan justru lebih ke aspek sosial, terlebih di masa anak-anak tidak belajar di sekolah banyak anak yang akhirnya memilih main game.
"Terdapat hal yang tidak bisa didapatkan anak saat mereka di dunia nyata, katakanlah di sekolah mereka. Saat bermain game, mereka jadi anonim, jadi bisa lebih ekspresif. Misalkan di dunia nyata mereka sering di-bully tapi di dunia game justru tidak," ucap Olaff dalam Live Facebook Deep Talk with Lya, Sabtu, 22 Agustus 2020, dikutip dari Tempo.co.
Menurut Olaff, bermain game sebenarnya ada proses belajar karena ada rules atau aturan. Hal yang ada di dalam game tidak semua diterapkan di dunia nyata, misalnya anak termotivasi mencoba hal-hal baru misalnya bahasa Inggris.
"Terlebih didukung oleh tampilan visual menarik, melalui game anak juga bisa berinteraksi satu sama lain. Jadi kalau dibilang orang yang main game tidak tahu aturan, itu tidak tepat. Sebaliknya, dia tahu sekali aturan sebab di game pun ada peraturan," ujar dia.
Batasan anak main game disarankan Olaff selama 45 menit - 3 jam dengan penjelasan agar tidak membebani otak untuk fokus pada suatu hal yang sama. Tapi, agar tidak addict atau kecanduan, anak juga harus melakukan aktivitas bersama di luar main game seperti ngobrol, bercerita aktivitas sehari-hari, makan bersama.
"Adiksi terjadi karena selama proses seorang individu melakukan 'sesuatu' terjadi kondisi yang bisa memicu peningkatan hormon endorphin, dopamine, oxytocin, atau serotonin. Nah, jika seseorang terbiasa bermain game untuk mendapatkan salah satu di antaranya, jangan heran kalo orang tersebut akan mengalami adiksi nge-game untuk seeking sensasi dari hormon yang dibutuhkan oleh tubuhnya," jelas Olaff.
Oleh sebab itu, saran Olaff kembali kategori atau jenis gamenya, karena setiap game memiliki aktivitas yang berbeda satu sama lainnya. Bagaimana dampaknya untuk anak hanya bisa dijawab hanya ketika kita pernah bermain game atau ikut berperan selama proses bermain game, minimal ikut menonton proses permainannya.
Ada permainan yang bisa membantu kemampuan koordinasi interpersonal seperti game Overcooked, ada juga permainan yang melatih wawasan pengetahuan umum seperti salah satu game di Hago.
Ada pula permainan bercocok tanam, akan menunjukkan pemainnya rangkaian bagaimana cara menanam tumbuhan sesuai dengan musimnya, jarak antar-tanaman, proses menyiram tanaman, dan memupuknya.
Contoh lain, permainan PUBG akan memberi gambaran mengenai pentingnya kerja sama yang hanya bisa berjalan dengan baik jika ada komunikasi yang jelas, inisiatif antarindividu, mengenal kemampuan diri sendiri (modalitas personal) & iterasi (pengulangan)/latihan yang intens untuk mencapai keahlian tertentu sesuai yang diharapkan.
Jadi setiap game memiliki value yang berbeda sesuai dengan konten dan aktivitas yang ditawarkan masing-masing.
Jika anak dibolehkan main game maka penting bagi orang tua untuk ikut bermain bersama atau minimal menemani anak bermain. Jangan sampai melarang anak pegang handphone untuk main game, tapi orang tua juga akses handphone untuk buka YouTube misalnya.
"Sekali lagi karena apa yang ada di anak sebenarnya ada di orang tua," imbuhnya.
Sumber: Tempo.co