SUKABUMIUPDATE.com - Siapa yang tidak tahu dengan bangunan bersejarah bekas peninggalan tokoh nasional Dr Mohammad Hatta dan Sjutan Sjahrir di Sukabumi? Bangunan berbentuk rumah yang berlokasi di Komplek Setukpa Lemdikpol (Sekolah Pembentukan Perwira Lembaga Pendidikan Polri) Jalan Bhayangkara Kota Sukabumi tersebut, akan kembali difungsikan sebagai rumah bagi perwira menengah Setukpa.
"Iya (benar). Itu kan rumah dinas Polri to, ya, disesuaikan dengan peruntukannya. Ya nanti kalau sudah ada pejabat baru/pamen baru datang," ucap Kepala Setukpa Lemdikpol Brigjen Pol Agus Suryatno kepada sukabumiupdate.com, Rabu (22/1/2020).
BACA JUGA: Pemkot Sukabumi Susun Master Plan Pengelolaan Heritage
Berkaitan dengan rumah yang dianggap sebagai bangunan heritage karena terkait kisah pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir di Sukabumi, Agus menegaskan punya versi cerita berbeda.
"Sejarahnya ada enggak? Saya belajar sejarah nih dari SD sampai SMA tidak pernah saya tau. Saya meluruskan saja bahwa Bung Hatta di Sukabumi bukan dibuang atau diasingkan, tapi beliau itu diminta mengajar di police shcool, sekolah polisi Belanda, karena beliau lulusan dari Belanda, kemudian ditempatkan di rumah tersebut. Terkait Sjahrir, tidak ada sejarahnya juga. Jadi di Setukpa itu tidak pernah ada sejarahnya yang diasingkan ataupun sebagai tempat pembuangan siapapun, dan Setukpa juga punya museum sejarah," jelas Agus.
Plang Cagar Budaya yang sempat dipasangan dibangunan bersejarah tersebut kini sudah dicabut. | Sumber Foto: Istimewa
Dihubungi terpisah, pengamat sejarah Sukabumi Irman Musafir Sufi menuturkan, terkait keberadaan rumah peninggalan Bung Hatta dan Sjahrir, sebelumnya telah ada kesepakatan antara Setukpa, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan Wali Kota zaman Muslikh Abdussyukur. Saat itu, Setukpa membolehkan rumah tersebut untuk dimanfaatkan dan dikosongkan, dengan syarat harus diberikan rumah pengganti untuk ditempati.
"Sesudah dilakukan inventarisir oleh BPCB dan dipugar, sayangnya Pemkot tidak memberikan rumah pengganti itu, bahkan tidak melakukan pengembangan dan pemanfaatan. Sementara statusnya juga baru terdaftar, belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Persoalannya, banyak yang menganggap itu sudah dicagarbudayakan, padahal belum. Setukpa yang hingga kini membayar utilities seperti air, listrik, dan lain-lain, keberatan jika terus membayar sementara kunci rumah dipegang BPCB dan rumahnya tidak dimanfaatkan, sehingga tetap jadi biaya Setukpa. Otomatis Setukpa ingin mengambil kembali asetnya yang dibiarkan untuk dipergunakan," papar Irman.
BACA JUGA: Pembangunan Bioskop di Sukabumi Gusur Heritage? Apa Kata Pemkot dan Pegiat Sejarah
Irman melanjutkan, persoalan besar hari ini adalah, ternyata di Sukabumi tak ada satupun bangunan bersejarah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, baru diinventarisir dan terdaftar. Terkait rumah peninggalan Bung Hatta, Irman mengaku pernah melakukan penelitian bersama BPCB pada tahun 2018 lalu dan menerbitkan buku tentang pembuangan Hatta dan Sjahrir di sukabumi.
"Seharusnya ini menguatkan pentingnya rumah Bung Hatta ini untuk bisa dikelola sebagai wisata heritages yang edukatif baik secara akademis maupun secara wisata. Bahkan, dapat menjadi potensi tujuan wisata dan penelitian nasional, tentunya akan mengangkat Kota sukabumi. Tapi jika dijadikan rumah biasa, maka pengunjung dan peneliti akan susah mendapatkan akses untuk masuk, plangnya saja sekarang diminta dicopot, intinya tak bisa menjadi salah satu wisata heritages," lanjutnya.
BACA JUGA: Faham Bakal Kembangkan Potensi Wisata Heritage Pakai Perda
Irman mengungkapkan, dalam buku yang ia tulis, pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi dijelaskan gamblang bahwa awalnya Bung Hatta akan dikirim ke Australia. Tapi, karena Jepang sudah terlanjur masuk ke Kalimantan, maka Hatta dan Sjahrir dikirim ke Sukabumi supaya dekat dengan Batavia. Saat di Sukabumi, Hatta dan Sjahrir menempati rumah di ujung komplek sekolah polisi.
"Hatta dan Sjahrir menempati rumah itu hanya 1,5 bulan, karena Jepang keburu masuk ke Sukabumi. Namun waktu singkat itu sangat penting bagi perjuangan nasional, karena di rumah itu banyak datang para pemimpin pergerakan, seperti Amir Sjarifudin, dan juga rumah dr Cipto Mangunkusumo yang berdekatan dan berada di Jalan Salabintana. Ada juga di daerah Degung, aktivis Beb Vujk. Para aktivis hadir dan juga akses ke Bandung mudah, misal bertemu Jacques de kadt. Dari situ, muncul konsep dua strategi, yaitu kooperatif dan nonkooperatif. Bahkan di Sukabumi pula Hatta menegaskan kepada pembesar Jepang bahwa dia hanya mau ikut ke Jakarta jika ada janji kemerdekaan, sehingga akhirnya dibentuk BPUPKI dan PPKI," tandas Irman.