SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara rawan bencana mengingat posisinya yang berada di antara tiga lempeng tektonik dunia, lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Di sisi lain, Indonesia juga disebut jalur The Pasicif Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik yang dikenal juga sebagai jalur rangkaian gunung api aktif dunia.
Jadi, sudah sewajarnya sebagai masyarakat kita punya kemampuan tanggap bencana. Kemampuan tanggap bencana ini tidak hanya layak dimiliki oleh para profesional seperti pemadam kebakaran, petugas BNPB dengan tim SAR, atau petugas medis.
Profesor Dr. H. Moermahadi Soerja Djanegara, Guru Besar Tetap Program Studi Akuntansi STIE Kesatuan Bogor, menyebut dahsyatnya bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Lombok 2018 yang menewaskan ribuan orang ini sudah seharusnya membuka kesadaran masyarakat tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana.
"Penanggulangan bencana memerlukan sinergi antar pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, swasta, dan juga masyarakat luas, dan melibatkan banyak komponen, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana," ujar Prof. Moermahadi di @america, Pacific Place, Sabtu (9/11/2019).
Sebagai mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Prof. Moermahadi juga mengamanatkan pentingnya keberadaan BPK untuk mengelola dukungan logistik secara akuntabel saat bencana alam melanda.
"Jadi penting kontribusi dan kehadiran BPK bencana alam melanda dalan mengelola keuangan yang akurat," lanjutnya.
Bukan hanya pemerintah, basis penanganan di lini masyarakat bisa dibentuk dengan banyaknya kontribusi dari komunitas. Saat lini dasar masyarakat bisa disentuh, maka risiko bencana juga semakin bisa dikurangi.
Sekedar infomasi, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tahun 2018 saja tercatat 4231 korban bencana alam meninggal dunia. Sebanyak lebih dari tiga juta penduduk terpaksa mengungsi, menyusul berbagai bencana alam yang terjadi di sepanjang tahun.
Sumber : SUARA.com