SUKABUMIUPDATE.com - Dokter Spesialis Jiwa OMNI Hospitals Pulomas Jakarta Jimmi MP Aritonang mengatakan, secara psikologis, menikah di usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, selain itu, mereka juga terancam perkembangan emosi yang tidak stabil.
“Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri. Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau orang tua,” ujar Jimmi.
Dia menambahkan, pernikahan anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori.
“Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga serta terjadi perceraian,” ujar dr Jimmi.
Selain itu, lanjutnya, perkawinan usia anak, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blue syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan.
Senada, Health Claim Senior Manager Sequis dr. Yosef Fransiscus mengatakan bahwa anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual, mengalami hamil, dan melahirkan.
“Seksual yang dilakukan di usia dini, secara terpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang, “ ujar Yosef.
Dia menambahkan kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tidak hanya dirasakan pada saat hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak.
Seringkali, anak perempuan yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya, menelantarkan sang buah hati atau memberi pengasuhan yang tidak tepat.
Eko mengatakan anak belum mampu berpikir secara rasional dan belum mampu menghadapi risiko atas pilihannya atau pada pilihan yang dipaksakan padanya. Sehingga dalam masa pertumbuhan, mereka tidak saja memerlukan gizi yang baik, tetapi juga perlu dibekali pengetahuan.
“Kita perlu memperlengkapi generasi muda Indonesia dengan pengetahuan reproduksi dan literasi keuangan agar mereka tidak terjerumus dalam berbagai persoalan yang menurunkan kualitas hidup,” imbuh Eko.
Sumber: Tempo