SUKABUMIUPDATE.com - Anda punya fobia terhadap suatu hal? Awam melihatnya sebagai suatu hal wajar. Namun tidak demikian dengan orang yang memiliki fobia. Ya, seperti fobia yang saya derita. Saya sangat takut dengan ketinggian dan takut naik eskalator! Iyaaa... Eskalator!
Kalau di depan saya ada tangga biasa berdampingan dengan eskalator, pasti saya lebih memilih naik tangga saja. Daripada saya harus ancang-ancang terus satu dua tiga tapi kaki gak napak-napak di eskalator, kan malah bikin antrean panjang di belakangnya.
Cerita sedikit ya flashback ke masa silam. Waktu itu saya lagi malam mingguan bersama pacar di Gramedia Matraman untuk mencari buku-buku sebagai referensi penulisan skripsi. Posisi di lantai 3 kalau gak salah. Memang kalau eskalator naik saya takutnya biasa aja. Takut, tapi gak luar biasa. Berbeda kalau eskalator turun itu ngerinya luar biasa.
Nah, tibalah saatnya saya harus turun dari lantai 3 ke 2 dan tidak ada pilihan lain selain eskalator. Oke, saya berhenti ketika posisi sudah di depan eskalator. Kok ngeri banget yaaa... tiba-tiba saya balik badan terus langsung menghampiri satpam. "Pak, minta tolong apakah eskalatornya bisa dimatikan dulu? Saya takut pak mau turun," pinta saya dengan sangat memelas ke bapak security, sementara si pacar mukanya mulai jutek.
Gak pake lama pak satpam bergegas mematikan eskalator dan orang-orang yang ada di situ pun pada bertanya-tanya ada apa gerangan. Malu? Sudah pasti. Tapi daripada saya semaleman di Gramedia, gak pulang-pulang. Mending malu sebentar deh. Sudah tak saya hiraukan lagi tatapan-tatapan aneh yang memandang ke saya.
Akhirnya, saya sampai di lantai dasar dengan selamat. Tapi... si pacar murka! "Ngapain sih kamu sampe minta satpam matiin eskalatornya segala? Kan malu dilihatin orang-orang. Kamu kan bisa pegangan aku.!!!" cerocosnya sambil bersungut-sungut.
Yah gimana dong yaaa, saya cuma bisa diam sambil masih menetralisir ngos-ngosan akibat turun eskalator secara manual.
Gara-gara itu juga saya penasaran, kenapa sih orang bisa sampai fobia? Yuks simak artikel saya yang pernah dimuat di MALE Magazine..
“Orang-orang yang fobia, mereka merasakan suatu ketakutan dan kecemasan pada sesuatu yang sifatnya spesifik/objeknya jelas. Misal, takut dengan binatang (laba-laba, anjing, serangga), takut terhadap kejadian alam (petir, ketinggian, air), takut pada benda medis (jarum suntik, darah), takut yang sifatnya situasional (pesawat terbang, lif, ruangan tertutup),” kata psikolog klinis, FX Albino Prasodjo.
Psikolog yang berpraktik di Bethsaida Hospital, Paramount Gading Serpong ini menambahkan bahwa ada tiga kategori fobia yang utama, yaitu: Pertama, fobia spesifik, yaitu ketakutan irasional yang terus-menerus pada objek tertentu atau situasi (seperti pesawat terbang atau ruang tertutup), alam (badai atau ketinggian), binatang atau serangga (anjing atau laba-laba), darah, suntikan atau cedera (seperti pisau atau tindakan medis), fobia lainnya (suara keras atau badut).
Kedua, fobia sosial, perasaan yang lebih dari sekadar rasa malu. Fobia sosial melibatkan kombinasi berlebihan antara kesadaran diri dengan rasa takut terhadap pengawasan publik atau penghinaan dalam situasi umum. Perasaan takut ditolak, dicap negatif, atau takut menyinggung perasaan orang lain.
Ketiga, fobia ruang terbuka (agoraphobia), yaitu takut pada situasi seperti menggunakan angkutan umum, berada di ruang terbuka atau tertutup, berdiri di tengah orang banyak, berada di luar rumah sendirian. Kebanyakan orang dengan agoraphobia semakin menjadi setelah mengalami satu atau lebih serangan panik sehingga mereka takut mengalami lagi hal tersebut dan menghindari tempat di mana itu terjadi. Agoraphobia bisa sangat parah hingga tidak bisa meninggalkan rumah.
“Sebanyak 75 persen orang mempunyai fobia lebih dari satu objek atau situasi. Misal, takut terhadap tiga hal; petir, kecoa, ruang tertutup,” ujar Albino. Lalu apa sebetunya yang menyebabkan seseorang mengalami fobia, bahkan bisa lebih dari satu jenis?
“Dalam kasus spesicif phobia, individu mengalami pengalaman traumatis dengan objek fobianya. Misal, pernah digigit tawon, terjebak dalam lift, atau individu itu tidak mengalami peristiwa traumatik secara langsung tapi pernah melihat orang lain mengalami peristiwa traumatik itu. Contoh, melihat orang tenggelam di kolam renang, membaca berita hilangnya pesawat terbang dengan dugaan pilot bunuh diri,” jawab Albino.
Untuk mengatasinya, Albino menyarankan jika seseorang tidak sering berhadapan dengan fobianya, tidak menjadi masalah dan biasanya orang yang mengalami fobia akan menghindari objek yang ditakutinya itu. Namun memang ada situasi yang tidak dapat dihindari. Jika demikian, individu yang mengalami fobia biasanya akan mengalami kecemasan -mengantisipasi apa yang akan terjadi- yang diakibatkan oleh objek fobianya.
Tipsnya, atur nafas hingga stabil ketika ketakutan itu muncul. Lalu bayangkan atau alihkan pikiran negatif (ketakutan) kepada sesuatu yang positif.
Tidak semua fobia membutuhkan pengobatan tetapi jika sudah mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan semakin mengganggu, barulah berkonsultasi ke profesional untuk pemeriksaan lebih lanjut. #mamipanda
Sumber: Tempo