SUKABUMIUPDATE.com - Umumnya orang tua menilai baik-buruk sikap seorang anak dari caranya berempati. Namun hal ini tidak berlaku bagi anak usia di bawah 7 tahun.
Dalam buku yang ditulis Indah, R. N. (2017) berjudul Gangguan berbahasa: Kajian pengantar, ditegaskan bahwa kemampuan anak memahami orang lain baru muncul mulai usia 7 tahun. Jadi tidak heran jika anak usia di bawah 7 tahun kemampuan berempatinya belum sebaik yang kita harapkan.
Namun tetap saja si kecil harus diperkenalkan cara berempati sedini mungkin. Menumbuhkan kemampuan berempati pada anak penting untuk membentuk karakter yang baik, bermoral, berakhlak mulia, serta mampu memahami perasaan dan kesedihan orang lain.
Penyebab Anak Usia 0 – 6 Tahun Belum Bisa Berempati dengan Baik.
Kemampuan berpikir anak usia 0 – 6 tahun masih egosentris atau berpusat pada diri sendiri. Anak belajar memahami dunia berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Sehingga anak berusaha memperoleh pengakuan kita dengan menunjukkan pencapaian atau keterampilan mereka. Si kecil sering kali memamerkan hasil kerjanya, pakaian yang dikenakannya, dan kemampuannya dalam melakukan sesuatu.
Dalam buku tersebut hal ini bisa teramati dari perkembangan bahasa si kecil seperti berikut;
1. Anak tidak peduli dengan siapa mereka bicara dan siapa yang mendengarkan bicaranya
2. Anak sering mengulang bahasanya karena senang bicara sendiri
3. Anak berbicara berdasarkan apa yang dipikirkannya
4. Anak bisa berbicara tanpa membutuhkan lawan bicara
5. Anak mampu menjawab pertanyaan, berpendapat, dan mengkritik orang lain namun belum mampu memahami orang lain dengan baik
Karena kemampuan berbahasa dan berpikirnya ini, anak usia 0 – 6 tahun belum bisa memahami atau berempati dengan baik. Jadi ketika anak tidak mau berbagi bukan berarti ia adalah anak yang tidak baik ya, Bun.
Kapan Anak Bisa Menunjukkan Kemampuan Berempatinya?
Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya, kemampuan berempati muncul di usia 7 tahun. Namun kemampuan dasar berempati itu sendiri sudah ada sejak kecil. Dilansir Jurnal Pendidikan Anak Universitas Sebelas Maret, Goleman psikolog Amerika terkenal yang menulis buku Emotional Intelligence pernah mengatakan bahwa sejak bayi kita sudah memiliki akar empati.
“Contohnya dapat kita lihat ketika ada seorang bayi yang ikut menangis setelah mendengar tangisan bayi lain. Pada keadaan lain, seorang bayi berumur 1 tahun akan mengulum jarinya untuk mengetahui ia terluka atau tidak melihat bayi lain terluka. Begitu pula seorang anak menghapus air matanya ketika melihat ibunya menangis.” Jelas Rahmawati dalam Jurnal tersebut.
Kepekaan ini merupakan kemampuan dasar berempati yang dimiliki oleh semua individu. Namun seiring berkembangnya kemampuan berpikir, kepekaan ini bisa hilang ataupun berkembang. Kemampuan berempati ini tentunya tidak akan sama karena perbedaan tingkat kepekaan anak yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itulah untuk memperkuat rasa empati diperlukan upaya untuk mengasah dan melatih kepekaannya.
Cara Mengasah Kemampuan Berempati pada Anak
Berikut adalah beberapa cara yang bisa Ayah Bunda lakukan untuk mengasah kemampuan berempati anak.
1. Mengajak anak bermain peran
Mengasah kemampuan berempati pada anak harus dilakukan semenyenangkan mungkin. Penting untuk mengenalkannya bahwa berempati pada orang lain itu merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan. Piaget, tokoh yang mengembangkan teori kognitif mengatakan bahwa metode bermain peran sangat cocok untuk anak usia 0 – 6 tahun.
Permainan ini mengajak anak untuk ikut serta dalam mendalami karakter atau sifat orang dan menyelesaikan masalah dalam waktu singkat. Selain itu, bermain peran bisa melatih daya imajinasi si kecil, lho.
Ada banyak penelitian yang menemukan bahwa mengajak anak bermain peran efektif untuk menanamkan empati di usia dini. Nah Ayah Bunda bisa mulai menyiapkan ceritanya, nih.
2. Membacakannya buku cerita dan berdiskusi mengenai permasalahan dan perasaannya
Hampir sama dengan bermain peran, cara ini juga bisa melatih daya imajinasi si kecil. Bunda bisa membacakannya buku cerita, misalnya pada waktu sebelum tidur. Pada kondisi tersebut, biasanya otak anak dalam keadaan rileks jadi ia bisa lebih mudah menyerap informasi.
Setelah membacakannya Bunda bisa memberi anak umpan balik seperti bertanya berkaitan dengan isi cerita tersebut. Kemudian bisa Bunda kaitkan dengan perasaannya seperti, “Bagaimana kalau seandainya kakak yang jadi Pak Tani? Kakak sedih tidak kalau timunnya dicuri?”
Nah jangan lupa untuk menggunakan bahasa yang sederhana sehingga tidak membingungkan si kecil ya, Bunda.
3. Mengenalkan anak bentuk-bentuk emosi
Hal yang tidak kalah penting adalah mengenalkan bentuk-bentuk emosi diri, seperti marah, sedih, senang, kagum. Ketika anak sedih atau marah, sebaiknya kita memvalidasi dulu perasaannya, tidak buru-buru menghilangkan perasaan tersebut. Kesalahan yang paling umum dilakukan ketika anak menangis adalah buru-buru membuat tangisnya berhenti atau mengalihkan perasaannya dengan iming-iming membeli makanan atau mainan. Pola perilaku yang seperti ini dapat membuat anak kehilangan rasa empati sebab ia tidak diberi keleluasaan untuk meluapkan emosi diri.
Anak mudah menangis bukan berarti ia anak yang lemah tetapi perasaannya sangat peka. Anak mudah marah bukan berarti ia anak yang nakal tetapi ia belum mampu mengendalikan perasaannya.
Baca Juga: 5 Tips Ampuh Membesarkan Anak yang Berkemauan Keras, Terapkan Yuk Bund
Maka kita perlu memvalidasi perasaannya agar anak mampu mengenal bentuk emosi yang dirasakan. Tak hanya itu, kita juga bisa menawarkan solusi agar anak belajar menangani permasalahannya. Misalnya, “Iya Bunda tahu Kakak sedang kesal. Kakak tidak mau membereskan mainan. Bunda mengerti. Gak apa-apa nangis aja dulu, biar habis dulu kesalnya. Cuma kalau tidak dibereskan, Bunda sedih. Gimana ya kalau mainan Kakak tiba-tiba ada yang hilang? Kalau sudah selesai nangisnya, kita bereskan sama-sama ya.”
Empati yang diasah dengan baik dapat mencegah anak melakukan tindakan melukai orang lain baik secara fisik atau emosional. Hal ini bisa terlihat dari caranya menunjukkan kepedulian kepada orang lain seperti menolong, mendengarkan, memahami, dan menghargai.
Yuk mulai ajarkan anak berempati sejak dini! Semoga informasinya membantu ya, Bunda.
REFERENSI
Indah, R. N. (2017). Gangguan berbahasa: Kajian pengantar.
Rahmawati, A. (2014). Metode bermain peran dan alat permainan edukatif untuk meningkatkan empati anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, 3(1).
Ulfah, S., Marmawi, R., & Miranda, D. (2019). Upaya Guru Menumbuhkan Sikap Empati Pada Anak Di TK Perintis 2 Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK), 8(3).
Penulis: Jelsa, Mahasiswa Magang dari Universitas Muhammadiyah Sukabumi