SUKABUMIUPDATE.com - Maraknya kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual di Indonesia banyak yang mengakibatkan kehamilan. Hal tersebut tentunya membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai aturan, apakah boleh melakukan aborsi karena kasus pemerkosaan tersebut?
Sebagaimana mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 75 ayat (1) menyatakan jika setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Namun, terdapat pengecualian untuk dua hal, sebagaimana mengacu pada ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan:
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
- indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Selain itu, tindakan aborsi dapat dinyatakan sebagai sebuah tindakan yang legal, harus memperhatikan ketentuan Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yang menerangkan sebagai berikut:
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Sehingga tindakan aborsi yang diatur dalam pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun hanya bisa dilakukan setelah korban pemerkosaan melakukan konseling dan penasehatan sebelum tindakan aborsi dengan catatan dan kembali melakukan konseling setelah melakukan tindakan aborsi, oleh konselor.
Lebih lanjut, UU Kesehatan juga mengatur batas suatu tindakan aborsi, yang mana dijelaskan pada Pasal 76 UU Kesehatan yang berbunyi:
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
- sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
- oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
- dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
- dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
- penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Adapun untuk melaksanakan Pasal 75 dari UU No 36 Tahun 2006 tentang Kesehatan tersebut perlu menetapkan Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.
Mengacu pada Bab 4 tentang Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi, pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) berbunyi:
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
- indikasi kedaruratan medis; atau
- kehamilan akibat perkosaan.
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Nah itulah penjelasan mengenai pertanyaan apakah boleh melakukan tindakan aborsi oleh korban pemerkosaan mengacu pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintan No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi.
Dia jawabannya adalah diperbolehkan. Namun dalam kondisi medis yang mendesak dan harus melalui konseling, serta memiliki batas waktu.