SUKABUMIUPDATE.com - Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap data bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sebanyak 5 persennya, atau 3,2 juta ton, merupakan sampah plastik.
Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.
Selain volume timbulan, setelah dikonsumsi, AMDK plastik berukuran di bawah 1 liter sangat sulit untuk dikumpulkan. Alhasil, sampah produk AMDK berukuran mini ini mudah tercecer dan mengotori lingkungan.
“Ukuran yang kecil-kecil itu berpotensi besar menjadi polutan,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, dalam sebuah webinar tentang penggunaan AMDK belum lama ini.
Oleh karena itu, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, ada ketentuan produk minuman dalam kemasan plastik paling kecil bervolume 1 liter. “Ini bukan anjuran, tapi kewajiban yang harus dijalankan,” kata Ujang.
Lebih daripada itu, menurut Ujang, AMDK gelas plastik juga menggunakan jenis material plastik (polypropylene) yang belum bisa diterima oleh industri daur ulang di Indonesia, baik gelasnya, penutup, sedotan, maupun pembungkus sedotannya. Akibatnya, meskipun berhasil dikumpulkan, sebagian besar sampah AMDK gelas plastik memenuhi tempat pembuangan akhir sebagai timbulan sampah yang tak bisa dimanfaatkan kembali.
Menurut data Sustainable Waste Indonesia, tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru 7 persen, dengan jenis plastik PET (yang digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 70 persen tingkat daur ulang. Data ini menunjukkan, AMDK gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, menimbulkan masalah besar bagi lingkungan karena tak bernilai untuk didaur ulang.
Industri daur ulang pada gilirannya tidak memperoleh bahan baku yang dibutuhkan. Industri daur ulang pun terpaksa mengimpor bahan baku sampah plastik 750 ribu ton per tahun.
Baca Juga :
Padahal, jika sampah plastik bisa didaur ulang dan dikelola dengan baik, apa yang disebut dengan ekonomi sirkular di Indonesia bisa tumbuh pesat. “Plastik bukan musuh peradaban,” kata Firdaus Ali, ahli lingkungan dari Universitas Indonesia dalam webinar yang sama. “Tapi yang bermasalah adalah tindakan primitif kita, sehingga plastik menjadi persoalan lingkungan.”
Ujang mengatakan, berdasarkan Peraturan Menteri KLHK di atas, produsen memiliki tanggung jawab memilih desain produk yang bisa diguna ulang dan didaur ulang, termasuk untuk tidak lagi menggunakan kemasan di bawah 1 liter. “Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menarik kembali produk-produk mereka pasca konsumsi,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri KLHK, pemerintah menargetkan menurunkan timbulan sampah hingga 30 persen pada 2029. Jalan menuju target itu ditempuh dengan mengurangi timbulan sampah, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang.
Salah satu cara mengurangi timbulan sampah adalah membatasi penggunaan kemasan minuman bervolume kurang dari 1 liter serta melarang penggunaan saset, sedotan plastik, dan kantong plastik, yang berlaku pada 1 Januari 2030.
“Peraturan itu berlaku untuk semua level produsen, baik besar maupun kecil. Namun dalam implementasinya, target utamanya adalah perusahaan-perusahaan besar karena merekalah kontributor terbesar sampah plastik,” kata Ujang Solihin.
Pada 2021, sebuah lembaga swadaya masyarakat, Sungai Watch, merilis brand audit terhadap sampah plastik yang mencemari sungai dan laut di Bali. Sungai Watch menemukan 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali, di antaranya Danone Aqua, Wings Surya, Orang Tua Group, Santos Jaya Abadi, Unilever, Indofood, Mayora Indah, Coca-cola, Garuda Food, dan Siantar Top.