SUKABUMIUPDATE.com - “TikTok adalah fenomena yang sangat menarik,” tegas Mark Zuckerberg dalam rapat internal Facebook yang bocor ke publik.
Menurutnya, platform itu “sangat mirip seperti Explore Tab yang kami miliki di Instagram.” Lalu, karena TikTok menyajikan video dalam format vertikal, Zuckerberg juga menambahkan bahwa mereka “seperti fitur Stories,” yang dimiliki pula oleh Facebook dan juga WhatsApp.
Dan karenanya, “fenomena yang sangat menarik” itu bagi Zuckerberg bukan sesuatu yang layak diapresiasi. Justru sebaliknya: ia malah menyerang TikTok. Dalam pidatonya di Georgetown University, Jumat lalu, Zuckerberg berujar:
“Aplikasi buatan kami, WhatsApp, digunakan demonstran dan aktivis di seluruh dunia sebagai sarana komunikasi karena kekuatan enkripsi dan privasinya. Sebaliknya, TikTok, aplikasi dari Cina yang kini tengah tumbuh pesat, mengunggah konten yang berhubungan dengan aksi protes saja akan langsung disensor, bahkan ini terjadi di Amerika.”
“Inikah dunia internet yang kita inginkan (yang penuh dengan aksi sensor ala TikTok)? Tanya Zuckerberg pada para hadirin yang berbahagia di kampus itu. “TikTok benar-benar merupakan produk internet pertama yang dibuat raksasa teknologi Cina yang sukses besar di seluruh dunia,” lanjutnya.
Sialnya, pikir Zuckerberg, sensor TikTok yang ditengarai olehnya bersumber dari pemerintah komunis Cina, “sedang diekspor besar-besaran ke berbagai negara karena kesuksesannya.” Pendiri Facebook itu merujuk data yang dihimpun Sensor Tower, firma analisis aplikasi, TikTok setidaknya kini telah memiliki 1 miliar pengguna aktif, dengan 100 juta di antaranya berasal dari Amerika Serikat.
Zuckerberg tidak sendirian dalam menyerang TikTok. Sebagaimana dilaporkan Reuters, sebelumnya Senator Marco Rubio menyarankan agar Pemerintah Amerika Serikat segera melakukan penyelidikan pada ByteDance, perusahaan pencipta TikTok. Rubio menduga bahwa TikTok digunakan Pemerintah Cina untuk melakukan sensor.
“Aplikasi milik Cina sering diintervensi untuk melakukan penyensoran konten dan membungkam diskusi terbuka dengan topik-topik yang dirasa sensitif oleh pemerintah komunis,” tegas Rubio.
Kekhawatiran Rubio berdasarkan bocornya dokumen internal perusahaan yang menyatakan para moderator di aplikasi itu diharuskan menghapus konten-konten yang dapat membuat Pemerintah Cina marah. Namun, melalui pembelaannya, TikTok menyebut bahwa mereka membayar firma moderator luar untuk memoderasi konten-konten yang ada di platform-nya.
Persoalan sensor hanya salah satu dari persoalan TikTok. Karen Zhang, jurnalis South China Morning Post, dalam investigasi yang dilakukannya, menyebut TikTok juga punya masalah soal privasi. Ia mengacu kepada anak-anak di sekolah dasar di Hong Kong, di mana video-video privat yang mereka buat dapat dengan mudah dilihat publik dan memungkinkan keselamatan mereka terancam.
“Saya pikir apa yang dilakukan TikTok sangat buruk dalam melindungi privasi penggunanya dibandingkan aplikasi lain,” kata Eric Fan Kinman, konsultan Hong Kong Information Technology Federation, usai mengujicoba fitur privasi pada TikTok.
Kembali ke Zuckerberg dan Rubio. Sebagai wakil rakyat, tidak ada yang salah dengan kekhawatiran Rubio. Tapi tidak dengan sikap Zuckerberg. Jika melihat ke belakang, serangan yang dilontarkan Zuckerberg justru terlihat “aneh”.
Dulu, Zuckerberg menjadi salah satu pemimpin teknologi yang paling dekat dengan Cina. Hal itu ia perlihatkan secara terang-terangan dan bangga. Misalnya, dengan belajar Bahasa Mandarin dan mengunggah foto lari santai di jalanan Beijing yang penuh asap. Pun, di 2016, atas usahanya masuk ke pasar Cina, Facebook bahkan menciptakan “versi sensor” dirinya untuk dijual ke Cina.
Mengapa kemudian kini Zuckerberg berubah? Apakah restu Presiden Xi Jinping yang tak turun-turun untuk membuat Facebook hadir di Cina membuat Zuckerberg terluka lalu menyerang TikTok?
Facebook bisa jadi tengah di ambang bahaya.
Media Sosial adalah Soal Kegembiraan
TikTok atau disebut Douyin di Cina, merupakan aplikasi yang kini memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang terbesar. Ia adalah aplikasi video musik lip-sync berdurasi 15 detik, dengan bantuan facial recognition. Kemampuan facial recognition ini diperkuat selepas mereka membeli Faceu, aplikasi augmented reality dengan harga $300 juta.
Sebagaimana tertulis di Play Store, TikTok dirilis oleh Bytemod, perusahaan yang didirikan pada Juli 2016 dan bermarkas di Singapura. Bytemod juga merilis Vigo Lite, aplikasi “short video community” yang hampir mirip dengan TikTok.
Ada pun Bytemod merupakan bagian dari ByteDance, perusahaan teknologi asal Cina yang didirikan pada 2012. Merujuk laman resmi mereka, ByteDance kini telah menjangkau 40 negara di seluruh dunia dengan nilai valuasi yang ditaksir mencapai $11 miliar, sebagaimana ditulis Forbes.
ByteDance didirikan Yiming Zhang, pemuda lulusan Nankai University. Selepas lulus, ia bergabung dengan Kuxun, perusahaan penyedia jasa berupa mesin pencari khusus penerbangan dan hotel. Pada 2008, Zhang membantu penciptaan situs sosial bernama Hainei.com. Ia punya ide menciptakan news aggregator sebagai segmen produk pertama dari ByteDance.
ByteDance punya dua wajah: “berita” dan “hiburan berbasis video”. Sisi “berita” muncul melalui Toutiao, news aggregator berbasis machine learning dan artificial intelligence. Melalui dua teknologi itu, Toutiao mengklaim mampu menghadirkan berita secara unik, sesuai dengan personalisasi penggunanya. Toutiao juga mendaku sebagai news platform terbesar di Cina. Forbes menyebut aplikasi itu digunakan 80 juta pengguna aktif tiap hari, dengan tingkat rerata pembacaan mencapai angka 76 menit tiap hari.
Sementara itu, Wajah ByteDance dalam bentuk “hiburan berbasis video” dihadirkan melalui empat aplikasi. Selain TikTok, ada juga aplikasi Xigua Video, Video Video, dan musical.ly. Ke empat aplikasi hiburan berbasis video itu dibuat untuk mendukung visi ByteDance demi “membangun dunia bagi para kreator konten.”
Menurut Techcrunch, TikTok merupakan aplikasi yang merepresentasikan format baru media sosial, yang sangat berbeda dibandingkan dengan, misalnya, Instagram.
“TikTok bukan tentang Anda atau apa yang Anda lakukan. Ini tentang menghibur audiens Anda. Ini bukan aplikasi yang mencatat segala tindakan spontan dari kehidupan nyata Anda. Ini tentang menciptakan karakter, berdandan sebagai orang lain, dan membuat lelucon. Ini bukan tentang privasi dan teman, tetapi soal panggung hiburan. Dan ini bukan tentang orisinalitas, TikTok adalah tentang ‘remixing culture’,” tulis Techcrunch.
Sementara itu, dalam publikasi The New York Times, kolumnis Kevin Rose juga menyebut TikTok secara fundamental sangat berbeda dibandingkan aplikasi media sosial manapun yang pernah ada. TikTok, menurutnya, “mengembalikan keceriaan ke tubuh media sosial.”
Di samping kontroversi yang dihadirkannya--intervensi Pemerintah Cina, privasi, hingga pornografi--TikTok memperoleh sambutan positif, bahkan di Amerika Serikat. Di sana, sekolah bahkan secara terang-terangan mendukung siswa-siswinya bermain TikTok. Bahkan SMA West Orange High School, Florida, telah membuka klub ekstrakurikuler TikTok.
Michael Calahan, salah seorang guru di Amerika Serikat, menyebut TikTok mengajarkan kerjasama tim dan persahabatan. Jika media sosial lain berpusat pada kehidupan si pengguna, entah dengan mengungkapkan pemikiran via teks atau indahnya kehidupan via foto dan video, TikTok adalah soal menghibur orang lain.
TikTok jadi semacam pemuas dahaga atas kacaunya dunia media sosial, meskipun banyak diisi oleh anak-anak “alay”. Facebook sebagai tempat propaganda politik--seperti yang dilakukan InsightID, misalnya, dengan menyebarkan berita soal Papua atau sebagai sarana kampanye Donald Trump via Cambridge Analytica. Sementara Twitter juga telah menjadi semacam ring tinju tempat SJW dan Buzzer berkelahi. Instagram pun kadung sumpek dijejaki pedagang online.
Persoalannya, bisnis TikTok sebagai sebuah platform media sosial beririsan langsung dengan Facebook dan hal itu jelas membuat Zuckerberg khawatir.
Hari ini, pengguna aktif Facebook berada di angka 2,4 miliar. Menurut Statista, rata-rata pengguna Facebook menyumbang pendapatan sebesar $7,37 pada si media sosial. Bandingkan dengan TikTok, dengan 1 miliar pengguna aktif, hingga pertengahan tahun ini perusahaan telah mendulang pendapatan sekitar $8 miliar, dengan rata-rata pengguna menyumbang $8,4 bagi TikTok.
TikTok diprediksi masih mungkin dapat berkembang lebih besar lagi. Alasannya, aplikasi ini berdiri di dua kaki, Cina dan luar Cina. Sementara itu, atas kebijakan The Great Firewall of China, Facebook dan kawan-kawannya hanya dapat berdiri di satu kaki, yakni segala penjuru dunia kecuali Cina.
Maka, Zuckerberg, yang tahu TikTok akan jadi ancaman terbesar perusahaannya, menyerang dengan menggaungkan inti amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat, kebebasan berbicara.
“Hingga beberapa saat lalu, internet di hampir setiap negara ditentukan oleh platform asal Amerika dengan menjunjung nilai-nilai kebebasan berekspresi yang tinggi. Sayangnya, tidak ada jaminan nilai-nilai ini akan menang karena hari ini, enam dari sepuluh platform adalah Cina,” tegas Zuckerberg.
Selain menyerang secara verbal, Zuckerberg sejatinya juga telah menyiapkan senjata lain untuk melawan TikTok, yakni Lasso. Sedihnya, meski telah diluncurkan pada akhir 2018 silam, platform tersebut tidak juga terdengar gaungnya. Coba, apakah Anda tahu Lasso itu apa?
Sumber: Tirto.id