SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya melemahkan pers.
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap bagaimana pasukan siber menggunakan media sosial, untuk menyebarkan disinformasi politik yang bisa memanipulasi opini pada era post-truth politics.
Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September dengan judul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
"Selama tiga tahun terakhir, kami telah memantau media sosial dunia yang digunakan oleh partai atau pemerintah," kata peneliti dalam laporan.
Penelitian tahun ini menganalisa 70 negara, dari 48 negara sebelumnya pada penelitian 2018 dan 28 negara pada 2017.
Oxford Internet Institute mengatakan bertambahnya negara yang menggunakan sosial media untuk manipulasi informasi ke publik mengkhawatirkan demokrasi.
Pasukan siber berperan penting untuk menyebarkan propaganda politik. Manipulasi melibatkan strategi, bot politik, dan teknik propaganda komputasi, untuk memperkuat ujaran kebencian atau mengerahkan pasukan buzzer yang mengancam atau melecehkan pengkritik dan jurnalis daring.
Ada lima platform utama media sosial yang digunakan, yakni Facebook, Twitter, WhatsApp, Youtube, dan Instagram.
Propaganda politik membutuhkan pasukan siber untuk memanfaatkan media sosial guna membentuk opini publik, menetapkan agenda politik, dan menyebarkan ide.
Akun palsu digunakan oleh pasukan siber untuk menyebarkan komputasi propaganda. Selama tiga tahun Oxford melacak prevalensi tiga jenis akun palsu: bot, manusia, dan cyborg.
Bot adalah akun yang sangat otomatis dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Mereka sering digunakan untuk menguatkan narasi atau menangkal perselisihan politik.
Akun yang dikelola manusia tidak menggunakan otomatisasi. Sebaliknya mereka terlibat dengan mengunggah komentar atau tweet, atau secara pribadi menyampaikan pesan individu melalui media sosial. Akun cyborg adalah perpaduan akun otomatisasi dengan kurasi manusia. Laporan Oxford Internet Institute tahun ini menambahkan akun yang diretas sebagai kategori akun palsu yang digunakan pasukan siber.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas.
Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia, dengan tujuan menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan. Pasukan siber Indonesia biasanya menggunakan strategi disinformasi dan memperkuat konten propaganda.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini hanya beroperasi di dalam negeri. Selain Indonesia, ada negara lain yang menggunakan pasukan siber golongan ini, di antaranya Austria, Kolombia, Ceko, Jerman, Italia, Spanyol, Korea Utara dan lainnya.
Pasukan siber kapasitas rendah Indonesia biasanya dikontrak ganda dengan anggaran sekitar Rp 1 juta hingga 5 juta.
Laporan Oxford Internet Institute menyoroti cara lembaga pemerintah dan partai politik yang telah menggunakan media sosial untuk menyebar propaganda politik, mencemari informasi digital, dan menekan kebebasan berbicara dan kebebasan pers
Media sosial, yang pernah digembar-gemborkan sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi, telah dialihfungsikan untuk memperkuat disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan pada pers dan institusi demokratis.
Sumber: Tempo.co