SUKABUMIUPDATE.com - Dari sebuah game, DreadOut, akan diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Kimo Stamboel. Pemain game bergenre horor buatan Digital Happiness yang berbasis di Bandung itu tersebar di penjuru bumi selain di wilayah Indonesia. "Untuk Intellectual Property (IP), DreadOut revenue sudah di atas US$1 juta," kata pendiri studio games itu, Rachmad Imron, Senin, 16 Juli 2018.
Penghasilan itu kata Imron tergolong menengah. Soal berapa jumlah pemain game DreadOut baik yang versi gratis maupun berbayar, ia enggan mengungkapkan angkanya. Kabar terbaru yang diperoleh Tempo, tim tengah menggarap DreadOut 2.
DreadOut perdana meluncur pada 15 Mei 2014. Sebelumnya, Digital Happiness mengeluarkan dulu demo game itu secara gratis pada April 2013. Selama 9 hari, sudah hampir 80 ribu orang yang mengunduhnya. "Itu untuk yang PC (personal computer) yang Mac sudah 1.290 orang," kata Imron.
Penggarap game DreadOut terdiri dari tim inti dengan sutradara Vadi Vanadi, dibantu pekerja lain. Sejak awal, game itu disiapkan untuk bisa dimainkan di komputer, bukan game mobile. "Kami tidak mau ikut arus utama karena pembuat game mobile sudah sangat banyak, bisa 10 ribu game sehari," kata Imron.
Pemain game DreadOut akan menjadi tokoh Linda, seorang siswi SMA berkulit putih, berambut panjang diikat, dan berpostur bak model. Di demo game yang disebut Imron sebagai level nol atau pembuka, kisahnya berawal dari perjalanan Linda dan 5 rekan sekolahnya ke sebuah daerah mati.
Gedung-gedung dan perumahan di wilayah itu digambarkan senyap tanpa seorang manusia pun setelah dihantam tsunami. Tapi benarkah tak ada penghuninya lagi? Indera keenam Linda tiba-tiba merasakan sesuatu. Ya, hantu-hantu dengan berbagai bentuk rupa berkeliaran di sudut ruang bangunan, bertengger di atap rumah, atau pepohonan di sebuah makam.
Uniknya, makhluk halus itu tak bisa terlihat langsung oleh Linda. Perlu alat bantu berupa telepon seluler pintar untuk menangkap wujudnya. Kadang, hantu seperti kuntilanak dan pocong, hanya muncul di kejauhan atau sangat dekat hingga mengagetkan. Tapi ada juga hantu yang berusaha menyerang dengan cara menyentuh Linda. Untuk membinasakannya menjadi abu, pemain harus sigap memotret hantu itu beberapa kali dari jarak aman.
Cara melenyapkan hantu seperti itu, kata Imron, terinspirasi dari mitos Indian. Mereka percaya jiwa orang yang dipotret kamera bisa berpindah ke foto. Dengan kata lain pada game DreadOut, jiwa hantu gentayangan itu ditangkap ke dalam kamera ponsel.
Perangkat itu tergolong supercanggih, karena baterainya tidak pernah habis dipakai memotret sambil sekaligus menjadi lampu senter. Memori ponsel juga jangan khawatir penuh karena kapasitasnya tak terbatas. Misi utama Linda yaitu mencari teman-temannya yang terpencar sambil berduel dengan para hantu. Kalau sampai kalah, pemain akan terlempar ke dunia gaib. Waktu untuk mencari teman-temannya pun semakin molor.
Selain memakai hantu-hantu lokal, kata Imron, kekuatan game ini pada nuansanya yang Indonesia banget. "Dari bentuk rumah, lingkungan, pepohonan, perabot, dibuat rinci seperti aslinya," kata lulusan Desain Produk ITB 2001 itu. Pilihan horor dan nuansa lokal dipilih untuk memudahkan pembuatannya. "Tema horor juga lebih bebas dan semua daerah punya urban legend. Selain itu, masyarakat Indonesia juga masih suka mistis," katanya.
Menurut beberapa orang, game itu mirip Fatal Frame. Misalnya sama-sama bertokoh utama gadis muda yang tersesat di suatu tempat, dan mengandalkan kamera sebagai senjata melawan hantu. “Kami memang terinspirasi dari game itu, tapi isinya tidak sama persis,” ujar Imron.
Sumber: Tempo