SUKABUMIUPDATE.com - Peci, yang juga dikenal sebagai kopiah atau songkok, memiliki sejarah panjang di Indonesia dan telah menjadi simbol identitas nasional.
Peci memiliki hubungan erat dengan tradisi Ramadan di Indonesia. Sebagai simbol religius dan budaya, peci sering digunakan oleh umat Islam selama bulan suci ini, terutama saat menjalankan ibadah seperti salat tarawih, tadarus Al-Qur'an, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Selama Ramadan, peci sering menjadi bagian dari pakaian tradisional yang dikenakan untuk menunjukkan kesungguhan dalam beribadah dan menghormati bulan suci. Selain itu, peci juga memiliki nilai spiritual, membantu menjaga kesucian dahi saat bersujud dalam salat.
Baca Juga: Pahala Setara 83 Tahun, Kenapa Lailatul Qadar Lebih Baik dari 1000 Bulan?
Peci tidak hanya menjadi pelengkap busana, tetapi juga simbol penting yang mencerminkan identitas dan sejarah bangsa Indonesia. Berikut beberapa poin penting tentang Sejarah Peci di Indonesia, yang telah dirangkum dari berbagai sumber:
Sejarah Peci
Asal Usul Peci di Indonesia
Peci pertama kali diperkenalkan oleh pedagang Arab yang datang ke Nusantara pada abad ke-13. Mereka membawa budaya mengenakan penutup kepala, yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat lokal menjadi peci.
Melansir muhammadiyah.or.id, menurut Rozan Yunos dalam artikel “The Origin of the Songkok or Kopiah” yang dimuat di *The Brunei Times* (23 September 2007), songkok diperkenalkan ke Nusantara oleh pedagang Muslim dan telah digunakan oleh masyarakat Muslim di Malaya sejak abad ke-13.
Ada juga pengaruh dari topi Fez yang berasal dari Turki. Bentuknya yang khas kemudian dimodifikasi oleh masyarakat lokal untuk menciptakan peci yang lebih pendek.
Peci Sebagai Identias Nasional Indonesia
Peci juga menjadi simbol identitas nasional, terutama setelah dipopulerkan oleh Bung Karno sebagai bagian dari pakaian nasional. Hal itu sebagaimana merujuk laman resmi Muhammadiyah.
Kala itu, Songkok atau kopiah menjadi simbol pergerakan nasional setelah Soekarno, kader Muhammadiyah, memulainya dalam acara perpisahan dengan Jong Java di Surabaya sebelum pindah ke Bandung.
Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978), disebutkan bahwa pada akhir Juni 1921, Soekarno mengusulkan penggunaan peci atau kopiah sebagai lambang perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, kaum terpelajar umumnya menganggap memakai peci sebagai sesuatu yang merendahkan, karena peci biasa digunakan oleh rakyat biasa.
Dengan tujuan menonjolkan kesetaraan rakyat Indonesia, songkok hitam yang awalnya hanya dikenakan oleh tokoh-tokoh muslim seperti Agus Salim, Hamka, dan Natsir, mulai meluas penggunaannya sebagai simbol perjuangan.
Lambang Peci tidak hanya mewakili umat Islam, tetapi seluruh bangsa Indonesia. Bahkan, Soekarno mengenakan songkok hitam saat membacakan pledoi "Indonesia Menggugat" di Pengadilan Landraad Bandung pada 18 Agustus 1930.
“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (1996), dikutip dari muhammadiyah.or.id, Kamis (20/3/2025).
Baca Juga: Mulai 20 Maret 2025, Penghapusan Tunggakan Pajak Kendaraan Bermotor di Jawa Barat
Peran Peci dalam Catatan Sejarah Indonesia
- Simbol Perlawanan
Pada masa pergerakan nasional, peci menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Bung Karno, salah satu proklamator Indonesia, sering mengenakan peci sebagai simbol identitas bangsa.
- Identitas Nasional
Setelah kemerdekaan, peci menjadi bagian dari pakaian resmi dalam berbagai acara kenegaraan, melambangkan kesederhanaan dan kebangsaan.
Makna Filosofis Peci di Indonesia
Dalam tradisi Islam, peci melambangkan kesederhanaan dan kesalehan. Namun, penggunaannya tidak terbatas pada umat Islam saja, melainkan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia secara umum.
Sumber: Berbagai Sumber.