SUKABUMIUPDATE.com - Tahun 2018 adalah masa yang cukup krusial bagi perkembangan geopark tanah air. Pasalnya ada dua geopark, yakni Gunungsewu dan Ciletuh, yang bakal ditentukan nasibnya oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Geopark Ciletuh-Pelabuhanratu akan menerima hasil validasi oleh UNESCO pada September 2018. Apakah kawasan ini bakal masuk jaringan Global Geopark UNESCO atau tidak. Saat ini statusnya masih nasional.
Sedangkan Gunungsewu yang sudah berlevel global bakal menghadapi peninjauan ulang (revalidasi) pada 2019 oleh organisasi itu. “Ujian†itu akan menentukan apakah Gunungsewu bisa bertahan dalam jaringan UNESCO atau terlempar keluar.
Dua hal itu penting bagi ikhtiar dunia wisata tanah air yang ingin menjadikan geoparak sebagai konsep wisata lingkungan di Indonesia. Untuk itu, Dinas Pariwisata Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta mengambil sejumlah langkah pada 2018, agar saat peninjauan ulang itu Geopark Gunungsewu tampil yahud.
Salah satu yang akan dilakukan adalah mengembangkan kawasan penyangga Geopark  Gunungsewu. Sekretaris Dinas Pariwisata Gunung Kidul Hary Sukmono mengatakan upaya yang direkomendasikan adalah meningkatkan keberadaan penyangga 13 situs geosite.
“Kami ambil contoh kawasan pendukung Gunung Api Purba Nglanggeran misalnya, yakni di sana ada Kampung Emas, Desa Wisata Kerajinan Bobung, dan Desa Wisata Jelok,†kata Hary, di Gunungkidul, Juli lalu. Berbagai desa wisata itu akan digarap agar benar-benar mampu menjadi penopang kawasan Gunung Nglanggeran.
Geopark, alias Taman Bumi, adalah sebuah konsep yang dinisiasikan oleh UNESCO. Konsep ini meliputi wilayah terpadu yang mengedapankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi secara berkelanjutan.
Dalam konsep ini juga dipromosikan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Selain itu, dalam area geologis ini harus terpenuhi tiga kategori, yaitu adanya keragaman geologi, hayati, dan kebudayaan.
Sesuai kualitasnya, terdapat geopark berskala global dan skala nasional. Sebuah geopark ditetapkan berskala global jika lulus dari validasi UNESCO. Indonesia saat ini baru memiliki dua taman bumi global, yakni Geopark Gunung Batur (Bali) dan Geopark Gunungsewu di Yogyakarta.
Sedangkan yang berskala nasional ada enam, yakni Geopark Kaldera Danau Toba, Merangin, Ciletuh, dan Rinjani, ditambah lima yang baru naik tahun ini, yakni: Â Aspiring Geopark Belitung, Raja Ampat, Tambora, Maros Pangkep dan Bojonegoro.
Diluar itu masih ada 11geopark yang berstatus kandidat, yakni: Lembah Harau, Pongkor, Pangandaran, Tondano, Sangkulirang, Toraja, Karangsambung, Dieng, Bromo, Tambora, Kelimutu.
Pada 2018 sangat geopark diharapkan kian berkembang menjadi salah satu penyangga utama sektor wisata dan pelancongan di tanah air. Selain potensinya sangat besar, konsep ini terbukti mampu menjadi solusi jitu soal pelestarian lingkungan dan promosi ekonomi setempat.
Selama ini, pengembangan kawasan wisata karena semata mengejar target ekonomis, kerap berbenturan dengan ikhtiar pelestarian alam. Nah, dalam geopark, kedua kepentingan itu mampu diselaraskan.
Perhatian pemerintah untuk menambah geopark skala nasional dan juga meningkatkan kualitas geopark yang sudah adan agar mendunia cukup besar. Â Pada tahun ini geopark yang diajukan ke UNESCO divalidasi, yakni Geopark Ciletuh-Tangkubanperahu
Tantangan agar geopark tetap menyandang status nasional atau global cukup berat. Salah satunya adalah ancaman kerusakan lingkungan yang dilakukan sebagian warga masyarakat.
Koordinator Museum Geopark Batur Desak Made Andariyani mengenang betapa sulitnya saat mereka berjuang menuju geopark global. Salah satunya adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat agar tak melakukan galian semena-mene. "Perjalanan penelitian kami satu tahun pada 2009. Saat itu terasa berat sekali."
Kaldera Batur akhirnya lolos ujian dan masuk jaringan geopark global pada pada 20 September 2012. Â Pada 2016 kawasan ini menjalani revalidasi dan kembali lulus.
Problem serupa kini menimpa Geopark Nasional Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Badan Geologi mencatat ada sejumlah potensi kerusakan alam di wilayah ini. Padahal obyek wisata alam di pesisir selatan yang tengah menunggu “vonis†UNESCO.
Kepala Badan Geologi Ego Syahrial mengatakan setidaknya ada empat faktor potensi kerusakan itu, diantaranya, berasal dari penambangan liar serta perilaku pengunjung.
Penambangan liar dan pembukaan lahan yang berlebihan di area Geopark Ciletuh menyebabkan sungai semakin keruh dan menimbulkan pencemaran lingkungan. “Penambangan tanpa ijin harus dihentikan, bahkan tambang resmi pun sebaiknya dibatasi atau tidak diperpanjang,†kata dia, Mei lalu.
Cerita serupa datang dari Gunung Kidul. Para pegiat lingkungan pernah melancarkan protes atas rencana pembangunan resort di kawasan karst Gunung Kidul. Sebab, lokasi itu merupakan kawasan yang dilindungi.
"Jika pembangunan diteruskan, maka akan merusak bentang karst," kata Halik Sandera, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta, Juli silam.
Para aktivis lingkungan yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu (KMPPS) mendesak Pemerintah kabupaten Gunung Kidul menghentikan proyek resort tersebut. Kalau tidak, hal itu bisa jadi pemicu kedatangan investor selanjutnya yang berpotensi mengancam kelestarian bentang alam dan ekosistem.
Jalan masih panjang untuk menjadikan geopark sebagai tumpuan wisata lingkungan. Namun pemerintah berjanji tak lepas tangan.
Menrut Asdep Pengembangan Segmen Bisnis dan Pemerintah Hendri Karnoza pemeirntah bukan sekadar mendukung, “kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat,†kata Hendri. "Kami harus terus membantu membangun Kawasan Wisata Geopark (agar) berskala internasional dan mendapat pengakuan dari UNESCO.â€
Janji itu akan dicatat dan semoga tak hanya behenti sebagai ucapan. Tahun 2018 adalah titik krusialnya.
Sumber: Tempo