SUKABUMIUPDATE.com - Taman Nasional seringkali menjadi destinasi wisata Holiday Lovers.
Taman Nasional menyuguhkan keindahan alam yang asri dan sejuk untuk dinikmati ketika liburan.
Warga Sukabumi atau Jabodetabek tak usah risau soal destinasi Taman Nasional. Mengutip dari berbagai sumber, berikut 5 Taman Nasional yang dekat dengan Jabodetabek, Dua Diantaranya di Sukabumi!
Baca Juga: Ada Jembatan Terpanjang! 10 Ribu Wisatawan Diprediksi Berlibur ke Situgunung Sukabumi
1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan hutan hujan pegunungan terluas di Jawa Barat yaitu 113.357 hektare.
Kawasan ini disebut sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak atau Mount Halimun Salak karena memiliki dua puncak gunung tertinggi, yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak.
Secara administratif, TNGHS meliputi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Sementara untuk bentuk topografinya mulai dari perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian 500-2.211 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan kemiringan sekitar 25-65 persen.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang sebelumnya adalah cagar alam, baru diajukan menjadi taman nasional pada 28 Februari 1992 dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/.
Pada 23 Maret 1997, pengelolaan TNGHS dilakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun. Kemudian tahun 2003 kawasan ini diperluas dengan masuknya hutan di Gunung Salak dan Gunung Endut. Karena khawatir akan rusaknya sumber daya alam hutan, kawasan pun diperluas menjadi 113.357 hektare yang disebut dengan kawasan konservasi TNGH.
Secara Resmi nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak digunakan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 10 tentang penyatuan TNGH, Gunung Salak, dan Gunung Endut.
2. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah sumber daya alam di pegunungan yang digunakan sebagai tempat konservasi sekaligus Taman Nasional.
TNGGP dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP).
Pembukaan TNGGP dilakukan sejak tahun 1980 oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO. Dan di tahun 1977, UNESCO telah menetapkan Gunung Gede Pangrango sebagai Cagar Biosfer.
Secara geografis, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara 106º51`-107º02` BT dan 6º41`-6º51` LS. Sementara berdasarkan wilayah Administratifnya, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango termasuk dalam wilayah tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Bogor.
Seperti diketahui, berdasarkan ketinggiannya Gunung Gede dan Gunung Pangrango adalah dua gunung yang berbeda.
Ketinggian Gunung Pangrango yaitu 3.019 M diatas permukaan laut sedangkan Gunung Gede berada pada angka 2.958 M di atas permukaan laut. Puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango terhubung melalui punggung gunung yang berketinggian 2.400 M diatas permukaan laut atau disebut Kandang Badak.
Rentang ketinggian tersebut membuat kawasan konservasi TNGGP memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Salah satunya, Bunga Edelweiss (Anaphalis javanica), jenis tumbuhan khas dataran tinggi basah yang dilindungi.
Baca Juga: Melindungi Bunga Edelweiss di Gunung Gede Pangrango dengan Denda Rp 100 Juta
3. Taman Nasional Gunung Ciremai
Mengutip dari situs resmi tngciremai.menlhk.go.id, Gunung Ciremai adalah gunung soliter tertinggi di Jawa Barat. Puncak tertingginya memiliki ketinggian 3.078 mdpl membentuk kerucut di sisi sebelah Utara.
Secara geografis kawasan TNGC terletak pada 1080 19’ 18” – 1080 29’ 30” BT dan 60 46’ 57” – 60 58’ 57” LS.
Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) masuk di wilayah Kabupaten Kuningan seluas 8.792,21 Ha (59,24%), Kabupaten Majalengka seluas 6.031,26 Ha (40,64%) dan Kabupaten Cirebon seluas 17,83 Ha (0,12%).
Adapun secara administratif, batas-batas wilayahnya meliputi :
- Sebelah Utara, Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon
- Sebelah Timur, Kabupaten Kuningan
- Sebelah Selatan, Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan
- Sebelah Barat, Kabupaten Majalengka
Topografi di kawasan TNGC secara umum didominasi oleh lereng agak curam (16-25%) dan curam (26-40%) yakni seluas 5.351,25 ha (36,06%) untuk lereng agak curam dan 5.295,34 ha (35,68%) untuk kelerengan curam. Area dengan kelerengan sangat curam (>40%) hanya sebagian kecil saja yaitu seluas 387,09 ha (2,61%).
Rata-rata curah hujan TNGC yakni 2.500 hingga 4.500 mm/tahun dengan intensitas terendah 13,6 mm/hari hujan dan tertinggi 34,8 mm/hari hujan.
Kemudian, temperatur bulanan kawasan Timur Ciremai (Kuningan) berkisar antara 18 hingga 22°C sedangkan kawasan Barat Ciremai (Majalengka). Kisaran suhu antara 18,8 hingga 37,0°C dengan tekanan rata-rata udara sebesar 1.010 mb dan kelembaban sekitar 63-89%.
4. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS)
Keberadaan Taman Nasional Kepulauan Seribu bermula dari tahun 1979, didukung oleh FAO (Food and Agriculture Organization) PBB, dikutip dari tnlkepulauanseribu.menlhk.go.id.
Kajian dan survey di Indonesia pada tahun 1979-1981 bertujuan untuk menemukan satu lokasi perairan laut yang cocok dijadikan sebagai Taman Nasional laut (marine national park) pertama di Indonesia. Kala itu, FAO sedang menjalankan proyek membantu under-developed country (negara belum berkembang) dalam upaya konservasi pembangunan yang berkelanjutan.
Adapun kajian terhadap kondisi Kepulauan Seribu ini berbasis pada pencarian ekosistem penting. Berdasarkan hasil kajian disertai pertimbangan lain seperti akses dan lokasi strategis (ibu kota Indonesia) dipilihlah Kepulauan Seribu meski ancaman terhadap sumber daya alam cukup tinggi.
Lebih lanjut, berdasarkan indikasi tingginya potensi kawasan dan pemanfaatan SDA laut di wilayah Kepulauan Seribu, Pemerintah Pusat melakukan beberapa pengaturan sebagai berikut:
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982, yang menunjukkan wilayah seluas 108.000 hektar Kepulauan Seribu sebagai Cagar Alam dengan nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Ab 161/Kpts-II/95, tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu Seluas 108 ha menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986 tanggal 19 April 1986 tentang Pembagian Zona di Kawasan TNKpS.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu yang Terletak di Kotamadya Daerah Tingkat II Jakarta Utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta Seluas ± 108.000 (Seratus Delapan Ribu) Hektar Menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Keputusan Menteri Kehutanan Dan Pekebunan Nomor 220/Kpts-II/2000 tanggal 2 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan Di Wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Seluas 108.475,45 (Seratus Delapan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Lima, Empat Puluh Lima Perseratus) Hektar.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Seluas 107.489 (Seratus Tujuh Ribu Empat Ratus Delapan Puluh Sembilan) Hektar, Yang Terletak Di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Baca Juga: Termasuk KA Pangrango, Daftar 9 Kereta Indonesia yang Terinspirasi dari Nama Gunung!
5. Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)
Terakhir, Taman Nasional yang dekat dengan wilayah Jabodetabek adalah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Dikutip dari tnujungkulon.menlhk.go.id, Kawasan Ujung Kulon pertama kali dikenalkan pada Tahun 1846 oleh F. Junghun, seorang ahli Botani Jerman ketika sedang mengumpulkan tumbuhan tropis.
Saat itu kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon sudah mulai dikenal oleh para peneliti termasuk perjalanan ke Ujung Kulon ini sempat masuk di dalam jurnal ilmiah beberapa tahun setelahnya.
Sayangnya, kedahsyatan letusan Krakatau menghasilkan gelombang tsunami setinggi kurang lebih 15 meter kemudian memporak-porandakan tidak hanya pemukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi satwa liar dan vegetasi yang ada.
Meski letusan Krakatau menyapu bersih kawasan Ujung Kulon, akan tetapi diketahui bahwa ekosistem-vegetasi dan satwa liar di Ujung Kulon mulai tumbuh baik dengan cepat.
Berdasarkan letak geografisnya, Taman Nasional Ujung Kulon berada pada 6°30’-6°52’ LS, 102°02’-105°37’ BT. Sementara secara administratif, Kawasan Taman nasional Ujung Kulon terletak di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon luas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon adalah 122.956 Ha.
Sebagian besar topografi daerah Kabupaten Pandeglang adalah dataran rendah yang berada di daerah Tengah dan Selatan yang memiliki luas 85,07% dari luas keseluruhan Kabupaten Pandeglang.
Karakteristik utama yang menjadi tanda kedua daerah ini adalah ketinggian gunung-gunung yang relatif rendah, seperti Gunung Payung (480 m), Gunung Honje (620 m), Gunung Tilu (562 m) dan Gunung Raksa (320 m).
Suhu udara di Kabupaten Pandeglang berkisar antara 22,5°C – 27,9°C. Rinciannya, suhu udara daerah pantai mencapai 22°C – 32°C, sedangkan di daerah pegunungan berkisar antara 18°C – 29°C.
Kabupaten Pandeglang memiliki curah hujan antara 2.000 – 4.000 mm/thn dengan rata-rata curah hujan 3.814 mm. Kawasan ini mempunyai 177 hari hujan rata-rata per tahun dan memiliki tekanan udara rata-rata 1.010 millibar.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 3658/Menhut-VII/KUH/2014 Tanggal 5 Mei 2014 Tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Ujung Kulon Seluas 105.694,46 Ha di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten wilayah Daratan (terrestrial) membentang seluas 61.357,46 Ha dan Perairan (marine) seluas 44.337 Ha.
Sumber : Kementerian LHK