SUKABUMIUPDATE.com - Film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" yang dirilis pada 11 Februari 2024 merupakan karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. Film ini berisi kritik atas sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia untuk kondisi terakhir khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024.
Film dengan durasi sekitar 1,5 jam tersebut viral di media sosial, bahkan belum dua hari penayangan telah ditonton sebanyak 2 juta tayangan dan tranding di media sosial.
Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketiga pakar tersebut menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.
Baca Juga: Belum Berizin, Ponpes di Sukabumi yang Terjerat Kasus Pelecehan Santri-Santriwati
Lantas, dari mana sumber dana dan pembiyaan produk film Dirty Vote.
Farid Gaban, yang merupakan seorang perwakilan salah satu organisasi yang turut menyumbang pembuatan film Dirty Vote mengatakan produksi film Dirty Vote dibiayai lewat saweran (uang dan alat) 20 organisasi masyarakat sipil.
Ia menyebut tenaga profesionalnya (sutradara, kameramen, editor, desainer grafis) kerja pro-bono.
"Saya ikut di rapat awal merancang film ini sebagai wakil Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru," kata dia kepada sukabumiupdate.com, Senin (12/2/2024).
Ia mengatakan, Mereka bekerja keras dalam waktu hanya 2 pekan untuk menyelesaikan film ini, yang alhamdulillan kini dalam sehari sudah ditonton 9 juta orang. Kami bahkan tidak memonetisasi akun di YouTube agar film ini benar-benar menjadi milik publik.
Kami berterima kasih kepada siapa saja yang telah menonton film ini, mendiskusikan dan menyebarluaskannya. Siapa saja bisa mendownload gratis film ini dan membaginya kepada teman dan kerabat.
Baca Juga: Beredar Kabar Dua Orang Meninggal di JIS, Acara Kampanye Akbar AMIN
Adapun 20 organisasi yang turut berkolaborasi dalam pembuatan film Dirty Vote, mengutip dari Akurat.co, adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Sementara itu, Satria Unggul Wicaksana Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya menyebut, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu disampaikan terkait pesan yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Seperti dilansir dari um-surabaya.ac.id, ada 16 catatan yang disampaikan Satria diantaranya:
1.Gabungan suara Jokowi dan Prabowo di pulau Sumatera menunjukkan gejala politik transaksional antara elit politik.
2. Penunjukkan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden Jokowi dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahanan.
3. Kasus penunjukan oleh Tito Karnavian untuk Pejabat Gubernur Papua dianggap mengabaikan aturan yang ada. Ini melambangkan penguasa yang berlaku sewenang-wenang.
4. Pelanggaran Pakta Integritas oleh Bupati Sorong memperlihatkan tipu daya dan ketidakjujuran pejabat publik.
Baca Juga: Gagal Nyalip, Pemotor Tewas Terlindas Truk di Cisaat Sukabumi
5. Deklarasi GBK oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) diduga sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu.
6. Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu. Apalagi ada politik transaksional.
7. Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada-kepala desa agar mendukung capres incumbent menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung.
8. Penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat seperti Airlangga dan Zulhas untuk kepentingan politik nyata terjadi di lapangan.
9. Peningkatan tajam bansos menjelang Pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara.
10. Data by name by address Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan menunjukkan indikasi kecurangan.
11. Keterlibatan sejumlah menteri dan timses capres dalam kampanye politik, di luar aturan yang ada, merupakan bentuk pelanggaran netralitas aparatur negara.
12. Ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan.
13. Kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu menunjukkan lemahnya pengawasan independen atas kontestasi politik.
Baca Juga: Bawaslu Setop Pemeriksaan Kasus Kades Girimukti Sukabumi Hadiri Acara Caleg
14. Beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu.
15. Banyaknya masalah integritas di MK, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial, menodai legitimasi MK sebagai the guardian of constitution.
16. Upaya intimidasi dari tim kampanye diharapkan tidak terjadi, aktivitas jurnalisme investigatif adalah bagian dari kebebasan Pers yang dilindungi dalam UU Pers dan kebebasan berpendapat dari pinsip hukum dan HAM.