SUKABUMIUPDATE.com - Ikatan Dokter Indonesia atau IDI mencatat berdasarkan update 28 November 2020, total sudah ada 180 dokter yang meninggal dunia akibat terpapar Covid-19. Namun di balik angka kematian tersebut, muncul secercah harapan.
Seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit di Wonogiri, Jawa Tengah, dr Sriyanto Sp.B menceritakan bagaimana ia berjibaku agar sembuh dari Covid-19. Ia sendiri baru saja menyelesaikan masa isolasi bersama anak bujangnya semata wayang.
Sriyanto mengaku harus merasakan 12 hari 'nikmatnya' ruang isolasi, tanggal 18-30 November 2020 lalu. "Alhamdulillah, saat ini kami berdua sudah sembuh dan dapat bernafas dengan lega. Bahkan saat ini kami sudah dapat beraktivitas seperti sediakala," kata Sriyanto seperti dikutip dari siaran pers Satgas Covid-19 pusat, Jumat (4/12/2020).
Ia pun tak segan membagikan cerita beratnya perjuangan antara hidup dan mati pada masa isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin ia lupakan seumur hidup.
BACA JUGA: IDI Catat Total 180 Dokter Wafat Akibat Terpapar Covid-19
"Pada 18 November 2020, hasil tes swab saya dan anak saya positif. Kami segera berangkat ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo. Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil," ungkapnya.
"Kondisi ini diperparah karena keluarga besar kami sedang mendapatkan musibah. Ayah mertua saya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif COVID-19. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total delapan orang dari keluarga kami yang positif COVID-19," ungkapnya lagi.
Masih kata Sriyanto, sesampainya di ruangan isolasi, kondisinya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. Setiap hari ia menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut.
Di hari keempatmasa isolasi, Sriyanto mulai batuk dengan badan terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat, batuk semakin parah.
"Setiap bergerak juga batuk. Seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari rukuk ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernafas lega," katanya.
Di hari keenam isolasi, kondisinya semakin parah. Saat itu Sriyanto sudah tak bisa merasakan indra penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan terasa sangat keras. Ia berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkongannya juga terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa. Sampai akhirnya ia muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu.
"Saya sampai protes ke bagian gizi rumahsakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua unek-unek ini untuk meminta penjelasan."
"Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi syaraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan," imbuhnya.
dr Sriyanto setelah sembuh dari Covid-19.
Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan untuk sriyanto. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Pasalnya, sudah dua tahun ini ia harus melakukan suntik insulin novomik. Ia hampir menyerah kalah. Beberapa sahabatnya juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian.
"Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukjizat karena saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malamitu saya mendapat injeksi satu kantong plasma," ungkapnya.
"Disamping injeksi plasma, saya juga minta disuntik tosilizumab. Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berpikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp 8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan satu tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi," ujarnya.
Di hari kedelapan, Sriyanto mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu ia tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. Seharian itu ia hanya tertidur. Begitu terbangun, badannya terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun.
Memasuki hari kesembilan, demam Sriyanto sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75persen. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritisnya. Terlewati sudah pertarung anantara hidup dan mati. Di hari itu, Sriyanto sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin.
"Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien COVID-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates. Saat ini kondisi saya sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang. Kami sudah pulang ke Wonogiri dan bahkan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah," tuturnya.
Namun, sedihnya kondisi sang ayah mertua tak dapat tertolong. Ayah mertuanya tak bisa bertahan dan menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 21 November 2020. Dimakamkan secara protokoler COVID-19.
"Saat mendengar kabar duka itu, saya sedang berada di ruang isolasi. Semua kesedihan sepertinya menimpa saya. Mulai tak bisa menelan makanan, demam tinggi, batuk parah, anak diisolasi dan mertua meninggal. Rasanya segala kepedihan muncul bersamaan," ulasnya.
Tetapi Sriyanto berusaha tegar dan tidak mau menyerah. Tak mau larut, ia bangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit ini. Tekad itu ia tanamkan kuat dalam hatinya karena ia masih ingin hidup untuk menambah amal shaleh.
Dengan iringan doa dari seluruh kerabat dan sahabat, ia berusaha bangkit. Dukungan dari teman-temannya di grup WhatsApp tiada henti mendoakan. "Sungguh doa mereka sangat berarti serasa guyuran air di Gurun Sahara. Ada yang mendoakan melalui telepon, Facebook, dan juga yang mendoakan dalam diam."
"Betapa sebuah doa di saat kondisi kritis membuat saya sangat bahagia. Terlebih lagi melihat kiriman video santri-santri TPQ dari berbagai daerah yang mengirimkan doa hingga beberapa hari. Mulut-mulut kecil itu meminta saya untuk tetap semangat agar bisa bertemu mereka kembali untuk mengobati orang lagi. Tak terasa air mata menetes," lanjutnya.
"Sebuah pelajaran berharga bagi saya dan juga semua orang di masa pandemi ini. Bahwa ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis. Bahwa obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba. Kita harus tetap rasional," tuturnya.
"Doa juga menjadi penyembuh. Doa-doa yang tulus serta perhatian dari orang sekeliling sangat membantu percepatan pengobatan. Jangan pernah lelah memberikan perhatian dan doa untuk mereka yang sedang sakit. Sungguh pelukan doa dari orang-orang terkasih begitu berharga," ungkapnya.
"Jaga kesehatan dan terapkan protokol dimanapun berada. Selalu gunakan masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak aman dengan orang lain," pungkas Sriyanto menutup cerita.