SUKABUMIUPDATE.com - Tiga puluh satu tahun lalu, hidup Kaiden Dwidjo Leksono hampir saja berakhir di tali gantungan. Lelaki yang kehilangan penglihatan di usia 32 tahun itu hampir bunuh diri karena merasa dunianya sudah hancur sejak cahaya tak lagi memantul di retinanya akibat pendarahan.
"Saya tidak memperhatikan kata-kata dokter yang sudah mendiagnosa ada pendarahan di retina. Saya tetap bekerja seperti biasa dan akhirnya mata bekerja terlalu berat sehingga penglihatan hilang sama sekali," ujar Kaiden saat diwawancara di rumahnya, Semper Jakarta Utara, Sabtu 7 Juli 2018. Seandainya lelaki 63 tahun itu mendengar bisikan setan tadi, mungkin tak akan pernah ada tongkat Tunanetra buatan orang Indonesia dengan merek Jakarta. Selama ini, penyandang disabilitas netra di Indonesia memakai tongkat yang didatangkan dari Jepang, Belanda, atau Thailand.
Kaiden Diwidjo kemudian tinggal di Panti Sosial Bina Netra Solo, Jawa Tengah. Di sana, dia kembali belajar menjalani kehidupan sehari-hari, seperti mandi dan sikat gigi. "Dalam hati saya bilang, ini belajar apa? Saya pernah melihat. Semua ini sudah pernah dan bisa saya lakukan," ujar dia.
Lelaki kelahiran Solo, 9 April 1955 itu kemudian memutuskan pindah ke Jakarta. Dia bergabung di lembaga rehabilitasi Tunanetra PSBN Tanmiat, Bekasi. Saat itu dia tertarik mengikuti pelatihan perbengkelan, seperti mengelas, memotong dan merangkai benda benda logam, yang diadakan lembaga pendanaan Jepang.
"Sebelum buta, saya pernah bekerja di instalasi pemasangan kabel. Kebetulan juga saya lulusan STM," kata Kaiden. Dengan latar belakang perbengkelan itu, Kaiden tidak kesulitan mengikuti uji kompetensi di Cibinong, Bogor. Pada 1994, Kaiden menjadi satu-satunya peserta dengan disabilitas yang lulus ujian kompetensi berhak mengikuti pelatihan perbengkelan. Kemampuan Kaiden yang dapat diadu dengan peserta uji kompetensi lainnya adalah mampu menggunakan mesin pemotong berkecepatan tinggi dengan hasil yang sangat halus.
Satu hari, dia tertarik dengan tongkat yang biasa dipakai teman-teman Tunanetra. Dia selalu bertanya kepada penyandang disabilitas netra yang membawa tongkat, dari mana tongkat itu dibuat? "Jawabannya selalu impor. Ada yang dari Jepang atau Belanda," ujar Kaiden. Berangkat dari situ, Kaiden mulai berpikir membuat tongkat Tunanetra asli Indonesia. Tentu dia mempelajari tongkat dari Jepang dan Belanda dulu sebagai contoh. Seiring berjalannya waktu, Kaiden mulai berkreasi dengan tongkat buatannya.
Satu per satu tongkat Tunanetra merek Jakarta buatan Kaiden mulai dilirik beberapa lembaga donor. Salah satunya sebuah bank milik pemerintah yang akan menyumbang tongkat untuk Tunanetra. Sejumlah lembaga non-provit juga mendorong usahanya yang bergerak di bidang pemberdayaan disabilitas. Di awal tahun 2000, Kaiden diminta menyebarkan keterampilannya membuat tongkat Tunanetra ke wilayah luar Jawa. Mulai dari Martapura, Palembang, beberapa daerah di Kalimantan, hingga Maluku. "Namun dari hasil lokakarya itu, yang tetap berkembang ada di Palembang dan Surabaya," ujar Kaiden
Kini Kaiden adalah salah satu pemasok tongkat Tunanetra di beberapa lembaga pemberdayaan. Selain harga tongkat yang relatif murah, keistimewaan tongkat Kaiden adalah model yang bisa dipesan sesuai keinginan pemiliknya. "Harga tongkat sekitar Rp 350 – 600 ribu per 10 batang," ujar Kaiden.
Setiap bulannya, mantan Ketua DPC Pertuni Jakarta Utara ini dapat memasok sekitar 50 - 600 batang tongkat Tunanetra ke seluruh Indonesia. Lantaran model yang bisa disesuaikan dengan pesanan dan pengerjaan yang cepat, tongkat Kaiden mulai merambah ke Malaysia dan Singapura. "Ada yang memesan tongkat lipat 7. Saya tidak hanya mendesain bentuknya, tapi juga menghitung kekuatannya agar tidak bengkok saat digunakan," kata Kaiden.
Sekarang, kakek dua cucu ini tinggal sendirian di rumahnya. Sehari-hari dia dibantu dua orang asisten dalam mengerjakan tongkat.
Sumber: Tempo