SUKABUMIUPDATE.COM - Ulama Islam berperan aktif dan progresif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Itu fakta tak terbantahkan. Tak terkecuali dengan ulama (Sunda: ajengan) Sukabumi yang harum namanya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Adalah K.H. Ahmad Sanusi, yang di Sukabumi lebih dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng tak hanya menjadi inspirasi dan penggerak utama perjuangan kemerdekaan, tetapi juga bukti bahwa ulama Sukabumi tak pernah tinggal diam dengan nasib rakyat.
Putra dari Ajengan Abdurrahim yang merupakan ulama besar dan pemimpin Pesantren Cantayan, lahir pada 18 September 1889 di Desa Cantayan, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi.
Ia dikenal dengan Ajengan Genteng karena merupakan pendiri yang berlokasi di Kampung Genteng, Cantayan. Ajengan juga pendiri Pesantren Syamsul Ulum di Gunungpuyuh, maka beliau juga kerap disebut Ajengan Gunungpuyuh.
Sepanjang hidup beliau sampai meninggalnya pada tahun 1950, kiprahnya tak hanya lokal Sukabumi tetapi juga nasional. Ia pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Di dalamnya Ajengan Genteng bergaul dengan banyak tokoh-tokoh nasional, termasuk di antaranya Bung Karno, K.H. Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain.
Bung Karno kabarnya suka berdiskusi dengan Ajengan Genteng karena merasa satu ide soal nasionalisme dan perjuangan yang progresif. Dalam konteks lainnya, Ajengan Genteng juga diklaim sebagian orang, lebih utama dibandingkan Ki Hajar Dewantara dalam hal perjuangan pendidikan nasional.
Mendapat Sebutan Ajengan Batawi
Jauh sebelum peristiwa Pertempuran Bojongkokosan (9-10 Desember 1945), Ajengan telah terlibat dalam perlawanan rakyat di Tatar Sunda terhadap Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1926.
Karena aksinya menentang Belanda itulah, Ajengan ditangkap dan dipenjara di Sukabumi selama enam bulan dan di Cianjur selama enam bulan juga.
Lalu pada tahun 1928, Ajengan sempat juga diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Tanah Tinggi (Jakarta) selama enam tahun (1928-1934).
Dalam pengasingannya, Ajengan terus berdakwah dari masjid ke masjid di Jakarta. Ajengan juga rajin menulis, baik dalam berbagai kitab maupun buletin. Saking rajinnya Ajengan berdakwah di Jakarta, sampai-sampai sebagian orang menggelarinya Ajengan Batawi (Betawi).
Pada tahun 1934, Ajengan Genteng dikembalikan oleh Pemerintah Belanda ke Sukabumi dengan status sebagai tahanan kota selama lima tahun (1934-1939).
Pada tahun 1943, beliau terpilih menjadi anggota BPUPKI. Setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949).
Ajengan Genteng dan Ki Hajar Dewantara
Ajengan Genteng dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam (SI) Sukabumi dan pendiri Al-Ittahadul Islamiyah (AII), sebuah organisasi di bidang pendidikan dan ekonomi.
Sejalan dengan didirikannya AII, Ajengan juga menerbitkan majalah Al-Hidayatul Islamiyah dan mendirikan sekolah AII School, sebuah sekolah dengan kurikulum modern.
Itulah mengapa muncul klaim bahwa Ajengan Genteng lebih utama dalam hal pengembangan pendidikan modern dibandingkan Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan pendiri Taman Siswa) sekalipun. Disebut-sebut Ki Hajar Dewantara bahkan mengakui berguru kepada Ajengan Genteng. (Baca selengkapnya di: http://bit.ly/2bh6Ks9)
Ajengan Genteng dan Bung Karno
Bung Karno sebelum Indonesia merdeka dikabarkan sering berkunjung ke rumah kediaman Ajengan Genteng.
Dikatakan bahwa Ajengan adalah seorang nasionalisme revolusioner dan ia bersama dengan Bung Karno sama-sama anggota BPUPKI.
Ajengan juga dikatakan berpandangan sama dengan Bung Karno bahwa, kemerdekaan bangsa Indonesia adalah syarat mutlak bagi penyelenggaraan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat baru Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.
Menurut Ajengan, dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pendidikan Agama Islam akan lebih menampakkan ruhnya dibanding di alam penjajahan kolonial Belanda.
Sebab menurutnya, penjajahan kolonial Belanda di Indonesia bukan saja semata-mata urusan kepentingan kolonialisme dan kapitalisme (urusan ekonomi atau rejeki) mereka, akan tetapi juga memiliki kepentingan misi penyebaran Agama Nasrani (misionaris) terhadap masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. (baca selengkapnya: http://bit.ly/2bhdUwr)
Nasionalisme seorang Ajengan                Â
Maka jelaslah rasa nasionalisme Ajengan Genteng sangat tinggi. Hal itu juga bisa terlihat pada awal Pemerintahan Jepang ketika ia membubarkan AII dan secara diam-diam Ajengan mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Penggunaan kata Indonesia menjadi bukti betapa tingginya kesadaran nasionalisme Ajengan Genteng.
Secara nyata Ajengan juga membuktikan rasa nasionalismenya dengan menjadi inspirasi di balik peristiwa Pertempuran Bojongkokosan. Ajengan merupakan sumber inspirasi para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari tangan para penjajah.
Dengan mempergunakan Pesantren Gunungpuyuh, pada akhir bulan Agustus 1945, Ajengan beserta dengan para tokoh masyarakat lainnya memutuskan untuk membentuk BKR di Sukabumi.
Barisan Islam Indonesia (BII) yang dibentuk ajengan juga dileburkan menjadi satu dalam BKR. Selain itu, Ajengan juga menjadi tokoh di balik lahirnya berbagai barisan laskar rakyat seperti Barisan Hisbullah, Barisan Sabilillah, Barisan Banteng, Barisan Pesindo hingga Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi.
Akhir kata, berhubungan dengan perayaan kemerdekaan RI saat ini, ada baiknya terutama generasi muda Sukabumi kembali berkaca kepada sosok Ajengan Genteng K.H. Ahmad Sanusi, tak perlu jauh-jauh.
Jadi, sudahkah kalian generasi muda benar-benar meyakini kemerdekaan? Sebesar apakah rasa nasionalisme kalian? Jangan-jangan hanya sebatas mampu menyanyikan lagu Indonesia Raya! Berkacalah kepada beliau, Ajengan Genteng! (Egi GP)
*Penulis adalah Editor Penerbit Yudhistira, tinggal di Cicurug.