SUKABUMIUPDATE.com - Dunia sastra berduka dengan berpulangnya Soni Farid Maulana, sastrawan sekaligus penyair Indonesia, sekitar pukul 04.00 WIB pada Minggu, 27 November 2022.
Soni Farid Maulana meninggal dunia di Kelurahan Sindangrasa, Kecamatan Ciamis, Jawa Barat.
Dalam rangka mengenang wafatnya tokoh sastra Indonesia, simak fakta seputar Soni Farid Maulana yang dilansir dari Ensiklopedia Kemdikbud!
1. Soni Farid Maulana Meninggal di Usia 60 Tahun
Soni diketahui lahir pada tanggal 19 Februari 1962 dan wafat pada 27 November 2022, di kediamannya, Ciamis, Jawa Barat.
Sehingga, Soni Farid Maulana meninggal dunia di usia 60 Tahun.
Soni lahir di Tasikmalaya Jawa Barat dari pasangan R. Sarah Solihati dan R. Yuyu Yuhana. Selain menyayangi kedua orang tuanya, Soni juga dekat dengan sang nenek, Oneng Rohana yang merawat dan mengasuhnya sejak kecil.
2. Soni Mengenal Puisi melalui Sang Nenek
Bukan tanpa alasan, selain merawat sejak kecil, Oneng Rohana sang nenek juga termasuk sosok penting di dunia sastra yang membesarkan nama Soni Farid Maulana.
Oneng Rohana, sang nenek memperkenalkan Soni pada puisi, khususnya tembang Sunda yang sering didendangkan saat menidurkan Soni saat kecil.
Siapa sangka, kebiasaan tersebut justru menempa Soni menjadi seorang penyair produktif di usia dewasa. Tahun 1976, saat neneknya meninggal, Soni menciptakan puisi "Di Pemakaman" untuk mengenang jasa beliau.
3. Karya Sastra Soni Farid Maulana
Selepas lulus tahun 1986 dari ASTI Bandung, Soni diketahui aktif menulis sajak dalam Suara Pembaharuan, Pelita, Suara Karya Minggu, Pikiran Rakyat, Republika, Gelora, Horison, Hikmah Mitra Desa, Mutiara, Ulumul Qur'an, dan Citra Yogya.
Karya-karya Soni dalam dunia sastra antara lain kumpulan puisi berjudul Bunga Kecubung (1989), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), dan Sehabis Hujan (1996), Angsana (Ultimus, 2007), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Variasi Parijs van Java (Kiblat, 2004), Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004), Selepas Kata (Pustaka Latifah, 2004), Kalakay Mega (1992), dan Peneguk Sunyi (2009).
Tak hanya itu, sejumlah puisinya bahkan dimuat dalam antologi bersama diantaranya Tonggak jilid 4 (1987), Malam 1000 Bulan (1992), Seratus Sajak Sunda (1992, Ed. Abdullah Mustappa), Orba (1993), Dari Negeri Poci 2 (1994, ed. F. Rahadi), Sajak Sunda Indonesia Emas (1995, ed. Abdullah Mustapa dan Taufik Faturohman).
Selain menulis puisi, Soni gemar menulis cerpen, beberapa karya cerpennya yaitu Orang Malam (Q-Press, 2005), Di Luar Mimpi (1997), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000), dan Palung Rasa (2001).
4. Prestasi Menjulang Soni Farid Maulana
Dua kumpulan puisi Soni Farid Maulana meraih penghargaan dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award, yakni Sehampar Kabut di tahun 2005-2006 dan Angsana di tahun 2006-2007.
Pada tahun 1999, Soni mendapatkan penghargaan di bidang jurnalis dan puis.
Sebagai jurnalis, Soni mendapat hadiah dari PWI Pusat sebagai Anugerah Jurnalistik Zulharmans atas esai berjudul Penyair Taufiq Ismail Peka Sejarah.
Sementara di bidang puisi, Soni mendapat Hadiah Sastra LBSS untuk sebuah puisi Sunda yang ia tulis.
5. Karya Soni Farid Maulana di Kancah Internasional
Puisi-puisi Soni Farid Maulana banyak dibahas dalam bentuk esai, skripsi sampai disertasi.
Misalnya, Ian Campbell, salah satu penulis dari Australia, menulis puisi Soni untuk disertasinya.
Selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, puisi tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Puisi Soni Farid diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. A. Teeuw dan Linde Voute dalam antologi Winternachten (1999).
Sementara dalam bahasa Jerman, beberapa puisi Soni terbit melalui terjemahan Berthold Damshäuser di majalah Orientirungen (2000).
Tak hanya dalam negeri, Soni menulis puisi berlatar belakang luar negeri seperti puisi bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, maupun Eropa.
W. S. Rendra, dunia sastra pasti mengenal sosoknya. Nah, Soni Farid Maulana pernah mendedikasikan puisi berjudul "Di Negeri Salju" untuknya pada tahun 1999.
Ditambah dengan puisi menyentuh lain yang dipersembahkan kepada istrinya, "Berjalan di Pinggir Sungai Seine" di tahun yang sama.
6. Perkembangan Sajak Soni Farid Maulana
JIka menilik kumpulan sajak di awal tempo, Soni lebih mengungkapkan dunia kesendirian seorang lelaki yang ditekan kesunyian serta dunia remaja kalut dalam penentuan nilai yang harus dipegang.
Namun, seiring perkembangan dan berjalannya waktu Soni Farid Maulana mulai memiliki warna tersendiri. Misalnya, tercermin dari tema yang luas tentang pengembaraan rohani, masalah sosial, cinta alam, kemanusian, perenungan diri, dan religiusitas.
Sajak-sajak Soni Farid Maulana diketahui menggunakan idiom (simbol) batu, baja, burung, mawar, daun, lautan maupun embun.
Kesimpulannya, pemilihan simbol tersebut bermakna bahwa Soni selain berjiwa halus dan dingin seperti batu, tetapi memiliki cinta seperti mawar atau burung.
Makna tersebut tak lepas dari kesadaran tentang nasib manusia bak setetes embun di atas daun yang sesaat akan terjatuh ke tanah.
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Writer: Nida Salma M.