SUKABUMIUPDATE.com - Di beberapa daerah atau tepatnya sekolah di Jawa Barat, ada aturan dimana harus menggunakan pakaian adat Sunda setiap satu hari dalam seminggu, seperti pangsi, bedahan, menak, hingga kebaya Sunda.
Aturan tersebut berdasar pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Nah, sebagai orang Indonesia, khususnya Suku Sunda penasaran gak sih gimana awal mula pakaian adat Sunda atau seperti apa sebenarnya bentuk pakaian adat Sunda itu?
Baca Juga: Contoh Babasan Sunda dalam Karakter "Cageur": Abong Biwir Teu Diwengku
Dirangkum dari buku “Pakaian Tradisional Jawa Barat” yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1988, dalam bukti tertulis yang paling awal menyebutkan adanya benda yang memiliki hubungan dengan busana di Jawa Barat.
Bukti tersebut tercantum pada piagam tembaga Kebantenan yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521).
Isi piagam tersebut berbunyi:
Nihan sakakala Rahyang Niskala Wastu Kencana pun turun ka Rahyang Ningrat Kancana, maka nguni ka Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran pun. Mulah mo mihape dayeuhan di Jayagiri deung dayeuhan di Sunda Sembawa. Aya manu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryanan inya ku na dasa calagara, kapas tambang pare dongdang pun.
Baca Juga: 6 Kota di Dunia yang Namanya Mirip dengan Bahasa Indonesia dan Sunda
Artinya:
Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana yang turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, demikian pula kepada Susuhunan yang sekarang ada di Pakuan Pajajaran. Titiplah ibu kota di Jayagiri dan ibu kota Sunda Sembawa. Di sana ada orang yang memberi kesejahteraan (kepada penduduk). Jangan diganggu oleh pemungut pajak, (baik) kapas yang telah ditimbang (maupun) padi·yang sudah dipikul dengan menggunakan dongdang.
Dapat dipastikan bahwa kapas yang disebut pada piagam itu adalah bahan baku untuk membuat pakaian. Di Jawa Barat sendiri banyak cerita rakyat yang menggambarkan sosok perempuan yang sedang menenun. Salah satunya Dayang Sumbi pada cerita Legenda Gunung Tangkuban Perahu.
Tidak hanya itu, ternyata kesopanan berpakaian sudah dianggap penting sejak dahulu di masyarakat Sunda. Pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan : jaga rang nemu jalan gede beet, banga di cang-ut di pangadwa yang berarti hati-hati, bila kita ada di jalan raya atau jalan biasa, kau harus membawa/menggunakan celana dan baju secara lengkap.
Baca Juga: Nani? 10 Kata Bahasa Sunda dan Jepang Ini Mirip
Lalu seperti apa sih bentuk dandanan perempuan dan lelaki di Sunda? Untuk dandanan perempuan terdapat pada naskah yang diperkirakan ditulis awal abad ke-18, yakni pada Ratu Pakuan (Atja, 1970:40). Isinya:
disawur ku sekar suhun.
Kangkalung deung tapok gelung
sigar deu (ng) pameunteu beuheung
kilat bahu ti katuhu
geulang kancana ti ketja
gorolong gumbrar homas kancana
Baca Juga: 5 Karakter Kesundaan yang Identik dengan Babasan Sunda
Artinya:
kepala dihias bunga
berkalung dan tusuk konde
bermahkota dan lehernya berhias
hiasan pangkal lengan melilit di kanan
gelang mas ada di kiri
berkilauan emas kencana
Sebenarnya ada deskripsi lebih detail mengenai dandanan perempuan pada cerita pantun Caritana Lutung Kasarung (1970), namun terasa akan terlalu panjang jika harus dituliskan di sini. Selanjutnya untuk laki-laki juga sering digambarkan pada cerita pantun Sunda, salah satunya dalam Panggung karaton (1971).
Baca Juga: Resep Nasi Tutug Oncom, Makanan Khas Sunda yang Bisa Dimakan Bersama Keluarga
Disebutkan terdapat ungkapan cawet puril pupurikil (bercawat ketat tak bercelana); disingjangan kotok nonggeng (berkain gaya ayam menungging); totopong bong totopong bang (ikat kepala bong dan bang); lancingan lepas (celana panjang); baju bekek (baju berlengan pendek); totopong batik manyingnyong (ikat kepala gaya batik manyingnyong); dibendo dibelengongkeun (bersetangan kepala rapih dalam bentuk menggelembung); baju kurung; baju mikung (baju anak-anak); baju paret (baju dengan kancing banyak); baju senting (baju laki-laki yang pendek bagian belakangnya).
Tidak hanya itu, informasi perihal pakaian Sunda tercatat juga pada The History of Java, volume kedua (Raffles, 1817:xciiix civ), berikut isiannya : papakayan (pakaian) ; sakalat (kain la ken); kapas; samping beurang mas (kain songket); sutra; samping sutra (kain sutra); sutra diwangga; kawai (baju); lapisan (kain lapis); kabaya (baju kabaya); sisek kawai (tepi baju); kancing; tanda kancing (lubang kancing); jarum; lyang jarum (lubang jarum); kukular (benang pada jarum); jalujur (kelim); kopia (pici); surban (serban); jubah; kasit (sepatu); hihid (kipas); babaseuh (basahan); beubeur (sabuk); kandit (rantai pinggang); kongkoreung (kalung); chantil (pengait ba ju); suwang (subang); anting (anting-anting); geuleung bahu (ikat pangkal lengan); geuleung (gelang); ali ( cincin); dan ali-chap (cincin setempel).
Namun perkembangan busana pada abad 19 terus berkembang di Jawa Barat. Bupati Sukapura Raden Tanu wangsa, yang bergelar Raden Temenggung Wiradadaha, serta memerintah sejak tahun 1855 telah mengubah tata cara kehidupan masyarakat, contohnya dalam cara berbicara dan berpakaian.
Baca Juga: Asal Usul Batagor Kuliner Khas Sunda, Tercipta Karena Keinginan Menghindari Mubazir
Dengan cara menyaring tata cara lama yang masih sesuai perkembangan zaman sekaligus mengusahakan mempertahankan kepribadian Sunda (Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata 1).
Diperkirakan pada saat yang bersamaan di daerah lain pun sedang dalam usaha yang sama. Seperti pembuatan bendo, saat itu terdapat macam jenisnya.
Di antaranya bendo Bandung, Tasik, Ciamis, dan Sumedang. Ada juga istilah bendo Sakola Raja dan bendo Sakola Menak yang merupakan gaya bendo untuk siswa Sekolah Guru (Kweekschool) dan Sekolah Pangreh Praja (Opleding School voor Inlandsche Ambtenaaren, OSVIA) yang didirikan di Bandung awal abad XX.
Semua bendo tersebut bermuara pada satu bentuk yakni bendo Sunda yang kita kenal sekarang, berbeda dengan bendo Cirebon, ataupun blangkon Yogya dan Solo.
Sebelum zaman penjajahan Jepang, disebutkan dalam buku Tatakrama Oerang Soenda karangan R. Satja dibrata tahun 1946 (terbitan pertama 1943) terdapat pembahasan mengenai ketentuan berpakaian orang Sunda yang dianggap baku saat itu.
Busana kaum laki-laki yang dianggap pantas pada zaman itu ialah:
- Bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain poleng Sunda, dan terompah atau selop
- Bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain kebat, dan terompah atau selop tanpa kaos kaki
- Bendo, jas (tutup atau bukaan ber dasi), pan talon ( celana panjang), dan sepatu tanpa kaos.
Sedangkan untuk perempuan:
kebaya, kain, selop, dan karembong (selendang). lalu untuk rambut biasa dibentuk menjadi sanggul yang nama atau jenisnya bermacam-macam.
Jika ditelusuri lebih dalam, busana Sunda juga berkaitan dengan pekerjaan mereka. salah satunya seorang juru tulis di kabupaten, mempunyai pakaian khusus jika ia dipanggil untuk menghadapi kanjeng dalem (bupati), yaitu harus mengenakan pakaian berwarna hitam.
Mungkin begitu kurang lebih garis besar sejarah mengenai pakaian adat atau busana Sunda. Sebenarnya masih banyak yang perlu dibahas secara lebih detail, namun terasa akan lebih nyaman dibahas di artikel terpisah agar fokus bahasan tidak kesana-kemari. Sekian, semoga dapat menambah wawasan baru.