SUKABUMIUPDATE.com - Puluhan siswa siswi Sekolah Dasar di Sukabumi dengan apik mempertunjukan aksi teatrikal yang dibalut seni tari dalam pertunjukan “Kumara Lemah Karuhun” di Area Bale Atikan Yayasan Bumi Karuhun Kadudampit (YBKK), Jl. Raya Situgunung, Kampung Cibunar, Desa Gede Pangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Rabu (31/7/2024).
Pantauan langsung sukabumiupdate.com di lokasi, para murid SD 1 Cibunar tersebut bermain peran menjadi anak-anak yang tinggal di tanah leluhur mereka yang masih kaya dengan tradisi dan warisan nenek moyangnya berupa permainan tradisional, tarian, angklung, dan gamelan.
Dengan lantunan kawih sunda berjudul ‘Jalueleuja’, mereka menampilkan tari kaulinan barudak yang dapat membawa para penonton seakan mengenang masa kecilnya.
Diketahui, pertunjukan “Kumara Lemah Karuhun” yang berarti "Anak-anak di tanah leluhur” ini digelar oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sukabumi dan YBKK.
Baca Juga: Permainan Tradisional Diperkenalkan Kembali Kepada Pelajar Sukabumi
Sejumlah siswa SD dan SMP di Kecamatan Kadudampit lainnya yang awalnya diundang untuk menyaksikan juga turut terlibat memainkan sejumlah permainan tradisional dalam pentas seni dan budaya tersebut.
Ketua Prodi Pendidikan Seni Sekolah Pasca Sarjana UPI, Prof. Juju Masunah mengatakan, dirinya bersama sejumlah peneliti UPI lainnya menginisiasi proyek pertunjukan berbasis kearifan lokal Sukabumi ini salah satunya untuk apresiasi seni bagi siswa dalam mendukung program merdeka belajar.
“Jadi ini merupakan satu kolaborasi untuk menunjukan satu kebersamaan di dalam mengemas pendidikan seni dan ini dilaksanakan secara informal untuk mendukung pendidikan seni di sekolah,” ujar Juju di lokasi.
Menurutnya, peran serta seni budaya di era digital itu sangat penting diterapkan di lingkungan pendidikan anak untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan dan budaya para siswa.
“Karena sehebatnya digital tanpa empirikal dan kenyataan kita akan terlepas dengan budaya kita sendiri. Makanya kita mencoba untuk mengembalikan kesadaraan lingkungan, kesadaran budaya kepada anak-anak melalui kegiatan bermain sambil belajar,” ungkap Juju yang pernah menjabat sebagai Direktur Pengembangan Seni Pertunjukan dan Industri Musik, Kementrian Parawisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia itu.
Adapun, ragam permainan tradisional anak yang dibawakan dalam pentas tersebut yakni, oray-orayan, perepet jengkol, engkrang, loncat karet dan lain sebagainya. Permainan itu dipandang Juju dapat menumbuhkan karakter, kebersamaan, toleransi dan empati.
“Ada yang masih kenal dengan permainan ini ada juga yang sudah lupa, tapi dengan adanya ini kita optimalkan untuk sarana belajar, belajar karakter, kebersamaan, toleransi, empati dan sebagainya,” ucapnya.
Juju berharap, dengan diadakannya metode belajar yang dikemas dengan konsep seni wisata dan pendidikan ini dapat menjadikan peserta didik dapat tumbuh dengan budaya lokal di era digital.
“Anak-anak bisa berkembang tumbuh dengan budayanya sendiri yakni budaya lokal, tumbuh berkembang secara estetik dan berkarakter,” pungkasnya.