SUKABUMIUPDATE.com - University College London atau UCL adalah salah satu perguruan tinggi ternama dunia yang kerap diincar oleh pelamar beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Ada cerita mengesankan dari salah satu penerima beasiswa LPDP di UCL, yakni Galih Sulistyaningra, seorang guru Sekolah Dasar (SD) di SD Petojo Utara, Jakarta Pusat. Menjadi seorang guru SD, kata Galih, memerlukan pengetahuan yang luas guna menghadirkan pendidikan berkeadilan sejak dini.
Galih menilai pendidikan Sarjana di bidang Pendidikan Guru SD belum cukup untuk menjadi bekalnya sebagai seorang guru. Galih Sulistyaningra merasa perlu lebih banyak lagi ilmu.
Merujuk Tempo.co, pada 2018, Galih memutuskan terbang ke University College London atau UCL di Inggris lewat program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP. Galih Sulistyaningra mengambil studi Magister Education Planning, Economics and International Development.
Baca Juga: Ekspresi Senang Tapi Aslinya Iri dengan Kita, Begini 10 Ciri-Cirinya!
Galih menjadi perempuan asal Indonesia pertama di program studi tersebut. UCL adalah salah satu kampus top dunia. Berdasarkan pemeringkatan Quacquarelli Symonds World University tahun 2023, UCL tempat Galih Sulistyaningra belajar, menempati urutan sembilan sebagai kampus terbaik dunia.
Galih memahami ketimpangan kualitas pendidikan, literasi dan pedagogi kritis antara Indonesia dengan Inggris. Menurut dia, hal tersebut menjadi pergumulan dalam dirinya, sehingga mendorong Galih untuk ingin menimba ilmu lagi.
“Saya disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah, ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan. Mungkin ini jadi salah satu dosa besar para pendidik di zaman dulu gitu ya,” kata Galih, dikutip via Tempo dari laman LPDP Selasa (28/11/2023).
Setahun berlalu, Galih menamatkan studinya. Ia pulang ke Indonesia dan kembali meneruskan impiannya. Kini, ia mengajar di SD Petojo Utara, Jakarta Pusat.
Galih Sulistyaningra Lahir di Keluarga Pendidik
Galih Sulistyaningra lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga pendidik. Baik orang tua, bibi hingga pamannya berprofesi sebagai guru. Keluarga Galih sangat ingin agar ia juga memilih jalan yang sama.
Pada awalnya, Galih enggan menjadi guru. Ia ingin menggeluti profesi lain yang lebih dari sekadar mengajar. Namun, jalan hidupnya justru terus membawanya ke dunia pendidikan.
Hingga akhirnya, Galih Sulistyaningra memulai debutnya sebagai pendidik saat bergabung di lembaga pendidikan yang menekuni bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics.
Ketika itu, perkuliahan Galih sudah selesai sehingga hanya tinggal menunggu jadwal wisuda di Universitas Negeri Jakarta.
Selama aktif dalam lembaga tersebut, Galih berhadapan dengan anak-anak yang mahir berbahasa Inggris serta terpapar kurikulum berstandar Amerika Serikat. Mereka berasal dari ekonomi kelas menengah ke atas.
Berawal dari pengalaman mengajar di sekolah-sekolah elit taraf internasional Jakarta inilah muncul keresahan di hati Galih. Ia resah atas timpangnya kualitas pendidikan antara anak-anak kelas menengah atas dengan anak-anak lain yang tak mendapat akses setara.
Galih Sulistyaningra kemudian memantapkan hati untuk mendalami perencanaan dan kebijakan mengenai pendidikan. Poin tersebut, menurut dia, dapat bermuara pada perkembangan anak didik hingga laju pertumbuhan ekonomi negara, sehingga akhirnya di titik inilah Galih yakin untuk lanjut studi S2 ke Inggris.
Prinsip Galih Sulistyaningra, penerima beasiswa LPDP di UCL, yakni pendidikan memiliki interseksi dengan banyak hal. Misalnya kesehatan, perdamaian, keadilan sosial, ekonomi hingga pemenuhan hak asasi manusia.
“Jadi, sudah kepikiran apa yang mau dilakukan. Sepertinya itu yang memudahkan jalan untuk bisa diterima beasiswa LPDP,” kata Galih.
Baca Juga: Ilfeel? Ini 8 Ciri-Ciri Orang Ilang Feeling Pada Kita
Selama di Inggris, Galih belajar bahwa setiap negara memiliki masalah tersendiri. Semua itu tentunya juga dapat ditangani dengan formulasi yang berbeda pula.
“Sebenarnya, tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara. Tapi kalau saya boleh cerita apa yang membuat pendidikan di Inggris lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia adalah literasi,” ujar Galih.
Galih mengatakan budaya membaca buku adalah kegiatan yang tak asing bagi masyarakat Inggris. Ia mengalami mudahnya mendapatkan buku di ruang publik sebagai sumber pengetahuan.
Tak sedikit pula orang tua yang menanamkan tradisi membaca kepada anak-anaknya di rumah. Kekayaan informasi dan wawasan dari membaca buku ini membantu anak-anak berpendidikan di sana untuk mudah berargumen di muka umum.
Poin tersebut yang dikatakan Galih sebenarnya cocok dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia. Di dalam Merdeka Belajar, terdapat Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya adalah bernalar kritis.
Baca Juga: Ayu Sabrina Pernah Dirundung! 5 Fakta Sosok Inspiratif Alumni Kampus Mengajar
Namun, menghasilkan karakter bernalar kritis pada anak didik menjadi sulit jika tenaga pendidiknya belum berada di level yang setara. Menurut Galih, perlu kemauan mandiri untuk untuk terus mengembangkan diri dan membaca buku.
“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya. Menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2, kita belajar untuk bisa memformulasikan opini,” ujar Galih.
Luasnya wawasan dan pengetahuan guru juga dapat dipakai untuk memahami dan mengenalkan pengelolaan emosi kepada anak didik dan mitigasi kekerasan. Galih melihat bahwa fenomena bullying, diskriminasi, dan kekerasan pada anak semakin parah. Itu semua, kata Galih, bermuara dari kegagalan mengidentifikasi dan mengenalkan permasalahan tersebut.
“Pertama, mengenali dan mengidentifikasi emosi. Kedua, bagaimana mengolah emosi, khususnya emosi-emosi negatif. Ketiga, saya juga mengenalkan jenis-jenis kekerasan. Sehingga, mereka paham bahwa tidak semua candaan yang mereka anggap lucu itu, dianggap lucu oleh orang lain. Bisa jadi itu menyakitkan. Itu ada hubungannya dengan regulasi emosi,” kata Galih.
Galih Sulistyaningra Menulis Modul
Sejak 2020, Galih mengabdi sebagai guru SD. Ia juga berkontribusi dalam penyusunan modul pendidikan dasar.
Galih Sulistyaningra ikut menulis modul peningkatan pengajaran literasi numerasi untuk Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan, menjadi penyusun Capaian Pembelajaran Bahasa Inggris, hingga beberapa program lain.
Baca Juga: Tinggalkan Istri dan Dua Anak, Korban Tewas Ledakan Gas di Sukabumi Dimakamkan
Galih membentuk komunitas Bekal Pendidik yang berisikan calon guru atau guru-guru muda sejawat. Sederhananya, komunitas ini sebagai wadah kawan sejawatnya untuk mengaktualisasi diri serta mengulik isu-isu pendidikan terkini.
Inisiasi ini muncul ketika masa pandemi Covid-19 yang memaksa sistem pendidikan dan pengajaran dilaksanakan secara daring.
Bekal Pendidik juga berkembang sebagai platform mentorship beasiswa yang dikhususkan bagi lulusan Sarjana Pendidikan yang ingin melanjutkan ke Magister Pendidikan. Mereka akan belajar mengenai paradigma Merdeka Belajar hingga teori dan metode pendidikan.
“Seperti paradigma tentang Merdeka Belajar itu seperti apa, filosofi-filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara itu bagaimana, dan banyak sekali teori maupun metode pendidikan yang menurut saya justru saya pelajari itu bukan di Indonesia. Itu jadi satu kekhawatiran dan keresahan yang menurut saya menggugah untuk bisa saya tularkan ke teman-teman calon pendidik.” ujar Galih.
Sumber: Tempo.co